[Book Review] Sadirah: Menempatkan Gundik dan Gemblak dalam Satu Potret






[Book Review] 
Sadirah: Menempatkan Gundik dan Gemblak dalam Satu PotretSaya merasa harus melakukan standing ovation tiap kali menemukan karya yang penulisnya pandai menggunakan latar penjajahan atau setting zaman dahulu untuk diramu dalam sebuah cerita. Alasannya jelas: tidak banyak penulis yang melakukannya dengan cantik, terutama oleh penulis-penulis baru atau muda (disebut muda lebih karena barangkali tidak lahir/hidup pada zaman itu). Terlebih, terlihat jelas karyanya bukan hanya sekadar 'menempel' latar, tapi berani blusukan dalam menjabarkan budaya dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

Oleh karena itu, saya menuliskan review ini sebagai pengganti standing ovation tersebut. Apalagi novel berjudul Sadirah yang akan saya bahas ini lahir di era serba-digital dan memang muncul pertama kali di platform menulis online hingga akhirnya ditemukan oleh Cabaca. Tahu sendiri kan, banyak orang yang underestimate dengan konten-konten yang tumbuh atau viral di dunia digital? 

Novel karya Johanes Jonaz ini bercerita tentang Mruwak, satu-satunya desa yang menolak sistem tanam paksa oleh pemerintahan Hindia Belanda. Di desa tersebut hiduplah seorang gadis bernama Sadirah. Jangan bayangkan dia sebagai gadis manis dan anggun sebab ia dibesarkan oleh Wongso Ngadiman, seorang warok, penari dalam seni Reog. Ayahnya itu memiliki banyak gemblak dan terkenal seenaknya sendiri. Sekalipun memiliki istri, bagi seorang warok, derajat dirinya akan terangkat jika memiliki banyak gemblak.

Suatu hari, demi menutup utang judi ‘sabung ayam’, Wongso Ngadiman menjual putrinya pada seorang Belanda bernama Tuan Murray. Sadirah akan dijadikan seorang nyai. Tentu saja, Sadirah tak terima. Hatinya telanjur terpikat pada Ismangil, cinta pertamanya sekaligus putra lurah Mruwak. Sadirah mungkin tak bisa menang melawan ayahnya, tetapi ia tetap bisa melawan. Sekalipun raganya telah dibawa dalam kereta milik Tuan Murray, hatinya tidak.




Sadirah: Versi Upgrade Karakter Nyai dalam Novel Indonesia

Tidak banyak mungkin novel Indonesia yang menampilkan 'nyai' sebagai karakter utamanya. Oya, sebelumnya mungkin yang belum tahu, istilah 'nyai' pada zaman kolonial Belanda dipergunakan untuk menyebut atau memanggil perempuan 'simpanan' orang asing. Lebih dekat dengan istilah 'gundik'. Kala itu, perempuan yang dipanggil 'nyai' bisa dibilang mempunyai kedudukan tinggi secara ekonomi, tetapi rendah secara moral. Itu anggapan kala itu loh, ya.

Kalau dalam novel Sadirah, kira-kira begini penggambaran seorang nyai.


gambaran nyai dalam novel Sadirah di Cabaca

Di antara kesedikit jumlah novel yang menggambarkan kehidupan seorang nyai, barangkali kita semua hampir sepakat bahwa di kepala kita akan langsung terbayang karakter Nyai Ontosoroh dalam tetralogi Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer. Tidak sedikit malah yang mungkin mengidolakan karakter tersebut.

Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, status nyai lebih sering dianggap rendah. Tetapi uniknya, Nyai Ontosoroh amat sadar akan hal tersebut. Karena itulah, ia berusaha dan belajar sekeras mungkin agar diakui kemanusiaannya. Ia juga diceritakan dengan segenap kesadarannya, mempertahankan anaknya, Annelies, agar tidak dibawa pergi ke Belanda oleh pengadilan putih Hindia Belanda. 

Meski memiliki status yang sama, karakter Sadirah tentu berbeda dengan Ontosoroh. Sadirah barangkali tidak dikisahkan secerdas Ontosoroh. Namun, Sadirah juga melakukan aksi-aksi heroik secara nyata. Ia merelakan harta simpanannya untuk membantu penduduk Mruwak yang sedang coba dibumihanguskan.


cara Sadirah membantu Mruwak

Selain itu, Sadirah pun dengan sengaja membuat dirinya tidak memiliki keturunan dari Tuan Murray. Memang, tidak ada yang salah dengan memiliki anak. Tetapi Sadirah dengan keterbatasannya memahami bahwa memiliki keturunan dari Murray bisa jadi petaka baginya di kemudian hari. Dengan pemikiran itu, ia melakukan serangkaian usaha untuk 'mencegah'-nya. Baca aja dulu di Cabaca ya kalau penasaran gimana cara orang baheula ber-KB hihi. Jadi, drama terenggutnya hak asasi manusia bisa diminimalisasi, paling gak tidak perlu sampai ditambah dengan drama perebutan hak asuh anak seperti yang dialami Ontosoroh.




Gemblak, Ketabuan, dan Perannya

Gak cuma soal nyai, novel Sadirah ini juga menunjukkan potret gemblak. Pada tahu nggak apa itu gemblak? Kalau belum  coba deh sesekali baca-baca tulisan tentang kehidupan para penari Reog alias warok. Jadi, 'senada' dengan nyai, warok pun memiliki tingkat ketabuannya tersendiri. Pasalnya, gemblak ini juga memiliki arti 'simpanan' juga. Bedanya, kalau nyai dipelihara oleh tuan-tuan Belanda, gemblak ini merupakan lelaki yang dipinang oleh lelaki, meninggalkan keluarganya, dan hidup bersama dengan sebuah kelompok Reog untuk jadi penari jathilan.

Hah? Laki-laki dipinang laki-laki?

Kenapa? Kaget karena Indonesia ternyata juga punya adat istiadat atau perilaku LGBT? Duh, agak pelik emang menjelaskannya. Coba baca artikel ini deh ya :))) 

Jangan kaget lagi ya, sodara-sodara. Biasanya warok gak cuma pelihara satu gemblak. Biasanya pelihara banyak. Intinya, gemblak ini disebut-sebut sebagai lambang kesaktian atau kedudukan si warok. Semakin banyak jumlah yang dipelihara, semakin baik dan semakin sakti pulalah si warok.  

Sama juga kayak ayah Sadirah, si Wongso Ngadiman ini, Tapi di antara sekian banyak gemblak yang 'dimiliki', Wongso Ngadiman paling sayang dengan gemblak bernama Kamiran, seperti yang tergambar dalam narasi berikut.



Nah, dalam cerita Sadirah ini, gemblaknya si Wongso Ngadiman, Kamiran, punya peran istimewa. Seperti yang sudah tergambar dalam sebelumnya, Kamiran ini cukup dekat Sadirah, layaknya saudara sedarah. Kamiran bahkan ditunjuk menjadi orang yang dipercaya Sadirah untuk melakukan 'misi rahasia', seperti mengantarkan bahan makanan ke Mruwak. Perannya tersebut sedikit banyak memberi gambaran bahwa bagaimana pun rendahnya status sosial seseorang, tidak lantas menjadikannya terkesan tak berguna. Mereka juga sama, memiliki cara sendiri-sendiri untuk berjuang.

Gimana? Gimana? Menarik banget kan novel Sadirah ini? Terutama dari segi latar dan potret sosial yang coba diangkatnya. Oya, gaya bahasa dan penuturan penulisnya juga mengalir syahdu. Enak banget dan merangsang kita sebagai pembaca untuk memvisualisasikannya. Gak heran novel ini bisa masuk 30 besar dalam AKATARA Pitching Forum "From Book to Screen". Semoga ya, setelah baca novel Sadirah, kita jadi gak gampang undersestimate novel-novel yang lahir dari platform digital. Gak semua karya yang ada di platform digital itu menye-menye kok. Dan lagi toh kalau pun menye-menye, emangnya kenapa?




Manfaatkan Jam Baca Nasional di Cabaca untuk baca gratis novel Indonesia!



0 Komentar