[Book Review] Yang Biasa Saja dalam Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat Karya Mark Manson (The Subtle Art of Not Giving a Fuck)






[Book Review]
Yang Biasa Saja dalam Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat Karya Mark MansonBelum terlambat rasanya kalau baru baca buku ini sekarang meski buku yang berjudul asli The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life ini telah berbulan-bulan bertengger di rak best seller toko buku. Tentu saja belum terlambat sebab substansi buku ini masih amat relevan, bahkan hingga bertahun-tahun mendatang.

Penulis: Mark Manson
Penerbit: Grasindo (terjemahan Indonesia)
ISBN: 978-602-4526-98-6
Cetakan: I, Februari 2018 
Tebal: 256 halaman


"Selama beberapa tahun belakangan, Mark Manson—melalui blognya yang sangat populer—telah membantu mengoreksi harapan-harapan delusional kita, baik mengenai diri kita sendiri maupun dunia. Ia kini menuangkan buah pikirnya yang keren itu di dalam buku hebat ini. “Dalam hidup ini, kita hanya punya kepedulian dalam jumlah yang terbatas. Makanya, Anda harus bijaksana dalam menentukan kepedulian Anda.” Manson menciptakan momen perbincangan yang serius dan mendalam, dibungkus dengan cerita-cerita yang menghibur dan “kekinian”, serta humor yang cadas. Buku ini merupakan tamparan di wajah yang menyegarkan untuk kita semua, supaya kita bisa mulai menjalani kehidupan yang lebih memuaskan, dan apa adanya."


Harus diakui, saya amat jarang membuat ulasan dari buku-buku nonfiksi. Bagi saya, buku nonfiksi kebanyakan bersifat informatif. Saya jadi merasa ketika harus mengulasnya, saya jadi seperti ‘menceritakan ulang’. Padahal, saya lebih senang ‘menempelkan’ banyak penafsiran pribadi saat me-review buku, dan fiksi/novel, menurut saya, memberi ruang lebih luas untuk hal itu.

Akan tetapi, usai membaca Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat ini, saya jadi gatel pengen ngomentarin hahahaha. Udah mirip warganet pada umumnya belum? XD Anyway, yang saya baca adalah versi bahasa Indonesianya. Sejujurnya agak menyesal baca yang versi bahasa Indonesia. Soalnya, setelah ngepoin blognya Mark Manson dan baca sampel dari versi aslinya di Google Books, saya menyimpulkan bahwa versi aslinya lebih ‘nendang’. Judul aslinya aja udah bikin pengen misuh. Kebayang kan gimana kalau pas baca keseluruhannya, jadi misuh-misuh all the time? Bisa f*ck f*ck melulu gitu kan seru~ Duh, maafkan kesalahfokusan saya. Eh, tapi ini saran penting lho, seandainya kamu yang baca tulisan ini sedang galau apakah akan membeli buku aslinya atau versi terjemahan.

Secara garis besar, buku The Subtle Art of Not Giving a Fuck ini membawa ide tentang bersikap tidak peduli pada semua-muanya dalam hidup kita. We don’t have to fuck about everything. Berikut kutipannya yang melegenda (sengaja ngambilnya dari yang versi aslinya).

“You and everyone you know are going to be dead soon. And in the short amount of time between here and there, you have a limited amount of fucks to give. Very few, in fact. And if you go around giving a fuck about everything and everyone without conscious thought or choice—well, then you’re going to get fucked.”

Bukan berarti cuek ya, tapi lebih ke gagasan untuk memedulikan hal-hal yang penting saja dalam hidup kita. Oke, ini jelas susah banget. Susah banget buat gak iri dengan orang-orang yang duitnya banyak dan bisa traveling ke mana-mana. Susah banget untuk menemukan nilai diri sendiri dan menerapkannya. Susah banget untuk gak memakai nilai orang lain (dalam hal kesuksesan, kemapanan, dll) ke dalam hidup kita. Namun, Manson punya ‘sihir’ sendiri yang bikin kita akhirnya manggut-manggut, seolah setuju bahwa kita seringnya demikian dan sebaiknya tidak demikian.


Sudut Pandang Negasi


Pernah gak, udah belajar rajin banget, sampai begadang, eh, nilai ulangan malah jelek? Gak pernah? Oh, ya udah. Berarti ada dua kemungkinan: situ orangnya pinter banget dan/atau orangnya selalu beruntung :)))

Saya pribadi sih, pernah mengalami hal demikian. Kadang-kadang saat berusaha terlalu keras, saya malah gak mendapatkan apa yang saya inginkan. Sebaliknya, kadang di saat saya tidak ngoyo, masa bodoh, atau bahkan melupakannya, di saat itulah kecemerlangan menghampiri. Lucu ya? Cen urip ki nganu.

Nah, hal serupa juga dikemukakan Manson dalam bab-bab awal buku ini. Ia bahkan mengutip si Bukowski yang bilang: “Jangan berusaha.” Kenapa begitu? Sebab menurutnya, saat dengan sengaja mengarahkan diri sendiri pada pemikiran positif, kita sama saja dengan mengingatkan diri sendiri tentang kekurangan kita atau hal-hal yang gagal kita wujudkan. Is he trying to criticize self-improvement books? Maybe. Dia juga ngomong begini:

“Wanting positive experience is a negative experience; accepting negative experience is a positive experience.”

Terlepas apakah benar atau tidak benar, sudut pandang yang diambil Manson inilah yang membuat buku ini menjadi boom! Begitulah kiranya penafsiran saya.



Gagasan-Gagasan yang Tidak Terlalu Baru


Kalau boleh jujur, gagasan-gagasan Manson sebenarnya tidaklah baru-baru amat. Bahkan ada banyak sekali penjelasan Manson yang berasa-banget-motivatornya. Banyak juga bagian-bagian yang klise dan khas self-improvement books. Contohnya, pas dia bilang bahwa fuck di sini bukan berarti cuek sama semua hal—yang identik dengan kemalasan—, melainkan tentang bersikap nyaman saat menjadi berbeda. See? Susah juga keleus menyamankan diri sendiri. :”

Atau, gagasannya yang ini.
“Being wrong opens us up to the possibility of change. Being wrong brings the opportunity for growth.”

That’s not nothing new at all. Banyak juga tulisan pengembangan diri yang mengemukakan hal serupa—bahwa kita tidak perlu takut salah, takut gagal, sebab itulah yang akan mengantarkan diri kita pada ‘kesuksesan’. Tapi lagi-lagi penjabaran Manson mengandung sihir. Jadi ya, kita bakal manggut-manggut aja gitu.

Selain itu, ada beberapa gagasan Manson yang menurut saya agak mirip dengan pemikiran/ajaran Buddha. Misalnya, gagasannya soal penerimaan, about something we have to enjoy and dealing with. Persisnya, doi bilang begini, “No matter where you go, there’s a five-hundred-pound load of shit waiting for you. And that’s perfectly fine. The point isn’t to get away from the shit. The point is to find the shit you enjoy dealing with.”

Kalau pernah baca buku motivasi bernada Buddha, pasti gak asinglah dengan gagasan ‘penerimaan rasa sakit’ tersebut. Ajaran Buddha selalu mengingatkan kita bahwa hidup ini hanyalah sementara, sedangkan berpegang teguh pada kondisi sementara menyebabkan penderitaan. Oleh karena itu, kesediaan untuk menerima situasi yang sulit atau tidak menyenangkan adalah hal yang perlu dilakukan.



Terlepas dari semua hal yang sudah saya paparkan, terlepas dari banyak kritik terhadap buku ini (you know, yeah beberapa contoh dalam buku ini dianggap stereotyping bahkan sexist), saya tetap suka bacanya. Mungkin karena penuturannya yang santai, kayak lagi ngobrol sama temen di angkringan. Barangkali Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat ini juga perlu dibaca olehmu, yang saat ini sedang mbuh-pengen-sambat-wae-rasane.

0 Komentar