[Event] Menulis Novel di Era Digital: Sebuah Kemeriahan Acara Sharing dan Mini Gathering Penulis Cabaca.id



[Event] Menulis Novel di Era Digital: Sebuah Kemeriahan Acara Sharing dan Mini Gathering Penulis Cabaca.id--Di era yang serba digital ini, siapa pun bisa menulis. Di blog, di status Facebook, di caption Instagram. Semua orang adalah konten, semua bisa menciptakan konten. Semudah itu, secepat itu. Konten bergerak begitu dinamis. Ann Handley bahkan bilang dengan terang-terangan, everybody writes.

Hal yang sama berlaku juga dalam menulis novel. Kalau dulu, orang harus sabar menanti karyanya diterima penerbit mayor atau muncul dalam surat kabar nasional, kini hal tersebut tidaklah terlalu penting lagi. Kalau dulu kita harus 'bersaing' dengan ribuan penulis, menunggu paling cepat setengah tahun dan paling apes, bertahun-tahun, hanya untuk sebuah kabar diterima atau ditolak, maka sekarang hal tersebut tidaklah menjadi penghalang lagi. Sebab kita bisa menulis sendiri. Tanpa seleksi. Tanpa proof. Gampang saja, tulis saja di blog. Unggah saja ke platform menulis digital seperti Wattpad dan sebangsanya. Selesai. Apakah hal tersebut pertanda buruk? Tidak juga. Justru di era serba digital ini, orang jadi semakin mudah dalam berkarya, harusnya semakin produktif juga.


Cabaca, Satu dari Sekian Platform Literasi Karya Dalam Negeri


Cabaca adalah salah satu wadah baru bagi orang-orang yang ingin bercerita sekaligus berkecimpung dalam industri kreatif. Hadir dalam format aplikasi Android serta dapat pula diakses di laman https://cabaca.id, ia mengusung konsep platform baca dan penerbitan digital. Dari penjelasan singkat ini, kita tahu bahwa inilah yang membedakannya dengan beberapa platform baru yang bermunculan di Indonesia. Cabaca bukanlah platform menulis bebas, tetapi bisa jadi salah satu yang dapat dipilih penulis untuk berkarya di era digital. Di Cabaca, terdapat sistem seleksi naskah dan editorial layaknya di penerbitan mayor. Penulisnya pun mendapat kontrak resmi dan honor atas pencapaiannya setelah karyanya publish di Cabaca.

Keuntungan lain menjadi penulis resmi di Cabaca selain monetize karya adalah karyanya terlindungi. Platform Cabaca melindungi karya penulis dari usaha pembajakan sebab sistemnya sudah diatur agar tidak mudah di-copy paste. Sistem seleksi naskah sendiri bisa dibilang ialah upaya lain untuk memfilter pemuatan konten yang melanggar hak cipta. Meski begitu, tetap saja kecanggihan teknologi tidak lantas menjamin seseorang akan bijak dalam menggunakannya. Bisa saja kan ada orang yang memuat screenshot karya tanpa izin atau bahkan yang lebih gila lagi, mengetik ulang novel yang sudah terbit/cetak (hal semacam ini sudah banyak ditemukan di platform menulis bebas lain). Sesungguhnya hanya orang yang punya banyak waktu luang dan hilang akal aja yang bisa melakukan hal semacam itu. Tapi pada dasarnya, sistem yang dibentuk Cabaca sudah semaksimal mungkin menghindari hal yang demikian.

Bagi pembaca, membaca novel di Cabaca juga bisa jadi keuntungan sebab semua bab 1-3 dari novel-novel yang publish bisa dibaca gratis. Artinya, pembaca berhak menilai, manakah karya yang layak diapresiasi dan manakah yang belum. Pembaca juga bisa memilih bab-bab mana saja yang dapat dibelinya. Pembaca tidak harus membeli kucing dalam karung dan merasa tertipu karena ternyata kontennya tidak seindah blurb-nya. XD

Hal lain yang menarik dan jadi ciri khas Cabaca adalah sistem kerangnya. Kerang ini merupakan semacam poin kalau di aplikasi lain. Pembaca yang ingin baca novel gratis harus mengumpulkan kerang demi membaca novel Indonesia yang disukainya. Ada banyak cara mendapatkan kerang gratis di Cabaca, misalnya saja memberi komentar tiap bab, memberi rating dan ulasan, membagikan kode/mengajak teman, dan masih banyak lagi. Tujuan diciptakannya sistem semacam ini tentu untuk memunculkan partisipasi aktif pembaca. Pembaca tidak cuma menerima kerang, menerima konten, tetapi bisa memberi masukan berharga untuk penulis. Win win solution.

Baca Juga: [Book Review] Berpetualang Bersama Aliran Waktu dalam Novel Time Aussicht di Cabaca

Perbedaan Menerbitkan Karya Secara Cetak dan Secara Digital


Ada beberapa hal yang menerbitkan karya secara digital terasa berbeda dengan menerbitkan karya secara cetak. Pada dasarnya kedua hal tersebut, seperti yang diungkapkan Mbak Astrid Savitri, sama-sama mengasyikkan. Astrid Savitri sebelumnya lebih banyak menulis buku nonfiksi dan mayoritas sudah masuk toko dengan jaringan distributor nasional. Ketika bergabung di Cabaca, Astrid Savitri menulis novel thriller berjudul Pesan dengan sistem on going--yang menurutnya seperti menulis cerita bersambung di majalah dahulu kala. Akan tetapi, menerbitkan karya secara digital membawa pengalaman baru dan berbeda. Salah satu yang terasa banget adalah interaksi pembaca. Kalau menerbitkan buku cetak, penulis butuh waktu sedikit lebih lama untuk mendapatkan komentar dari pembaca. Secara ya, proses menulis-ngirim-edit-cetaknya aja udah lama. Belum lagi ngelewatin proses distribusi dulu. Nah, kalau menerbitkan karya secara digital, Astrid Savitri merasa lebih cepat mendapatkan feedback. Feedback itulah yang membantunya membentuk cerita keseluruhannya--karena ia menulis novel dengan sistem ongoing dan kejar-kejaran deadline.

Sehubungan dengan feedback, menerbitkan karya secara digital dapat berfungsi sebagai 'tes ombak'. Artinya, seorang penulis dapat mengetes karyanya, sudah sejauh mana dapat menarik hati pembaca. Kalau di industri penerbitan mayor, patokannya adalah jumlah eksemplar yang terjual, maka di penerbitan digital, cara mengetahuinya adalah dari sebanyak apa komentar yang ada di bab per babnya.

Yang kedua, menerbitkan karya secara digital dirasa cukup membantu Astrid Savitri dalam hal branding dirinya sebagai penulis. Dulu, kalau mau dikenal sebagai penulis, seseorang harus terjebak dalam lingkaran: menulis sampai selesai-masukin naskah-ditolak-masukin-ditolak, dst. Sekarang tidak. Penerbit mayor justru banyak melirik seseorang yang sudah lama share karya di blog maupun platform penerbitan digital. Penerbit mayor ingin melihat branding penulisnya juga dan dunia digital membuat proses branding jadi lebih cepat. Di Cabaca sendiri penulis tidak harus menulis sampai ending kalau ingin jadi penulis resmi. Bisa hanya dengan mengajukan outline dan contoh bab dulu. Ditambah lagi, di Cabaca ada proses editorial juga. Karya jadi sedikit lebih terpoles dan lebih mature. Bisa dibilang, Cabaca adalah tengah-tengah antara penerbitan biasa dan platform digital.

berhubung ngadainnya di tempat umum, Cabaca jadi pusat perhatian yaw 



cieeee pegang mic


Beberapa hal di atas merupakan bahan diskusi dalam acara bertajuk "Menulis di Era Digital: Sharing & Mini Gathering" yang diadakan Cabaca pada hari Sabtu, 27 Oktober 2018 lalu. Acara yang dihelat di Kampung Tugu Go-Food Festival itu menghadirkan saya (wkwkwk, kok geli sendiri ya nulis liputan acara sendiri), Mbak Astrid Savitri (penulis buku nonfiksi sekaligus novel Pesan di Cabaca), dan mempertemukan penulis Cabaca cabang Jogja. Diramaikan pula oleh beberapa kawan dari komunitas penulis yang menunjukkan ketertarikannya dan ingin kirim naskah ke Cabaca.


@sabdaliar baca puisi

Baca Juga: [Event] Belajar Digital Marketing Bersama Girls in Tech Indonesia

Through this article I want to say thank you very much to buat Mbak Astrid yang sudah menemani saya sharing, juga untuk Bella yang nge-MC dan @sabdaliar yang menyumbangkan puisinya. Also, thanks to all team, penulis Cabaca yang udah hadir, dan kru Go-Food Festival Jogja yang udah menyediakan tempat. Untuk teman-teman yang nggak sempat ikutan live di akun Instagram Cabaca, bisa nonton video acaranya di sini.


0 Komentar