[Book Review] Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya: Rangkuman Kealienan Manusia


Penulis: Dewi Kharisma Michellia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Editor: Donna Widjajanto
Tebal: 240 hlm
Terbit: Juni 2013

Setelah terlalu lama menelantarkan karya adik angkatanku ini, akhirnya novel Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya ini berhasil kutuntaskan. Tidak benar-benar bikin katarsis, tapi cukup untuk membuat diri sendiri meringis.

Sesuai judulnya, pada dasarnya novel ini merupakan kumpulan surat–yang kemudian menjelma menjadi semacam jurnal–yang ditulis oleh perempuan tak bernama. Identitas yang melekat padanya hanyalah sebagai kameradnya Tuan Alien, si penerima ke-37 surat tersebut.
Kalau diminta menceritakan kembali apa isi novel karya Dewi Kharisma Michellia ini, jujur aku akan kesulitan menjabarkannya. Yang jelas, novel ini menggambarkan sebuah cinta platonis dari tokoh ‘aku’ terhadap sahabatnya sejak kecil. Diam-diam, tokoh 'aku’ ini menuliskan setiap kisahnya, tentang pekerjaannya sebagai jurnalis, perasaannya, dan banyak hal lain. Sayangnya, surat-surat itu tak pernah dikirim hingga akhirnya terlambat sampai. Tragis.



Novel Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya Karya Dewi Kharisma Michellia



Jangan Terkecoh


Jangan pernah mengharapkan ada dialog dalam novel ini. Yang akan kamu jumpai hanyalah paragraf demi paragraf yang panjang. Setiap yang membaca novel ini berpotensi mengalami kebosanan karena tak ada ekspresi langsung di dalamnya. Jujur saja, aku sendiri baru bisa menikmati novel ini setelah surat ke-9.
Pun kelihatannya tak ada nama tokoh yang bisa kamu ingat atau kamu kagumi. Hanya ada 'aku’ dan beberapa karakter yang dinamai dengan sesuatu hal lain, misal: Tuan Alien dan Tuan pemilik toko.
Tetapi jangan terkecoh. Semua narasi yang kamu lihat setiap saat bisa menjadi dialog. Beberapa kalimat yang tercetak miring dalam novel ini bisa jadi merupakan 'ucapan’ batin si 'aku’. Percakapan tak sistematis juga ada di dalamnya. Misalnya di halaman 20:


Maka terjadilah percakapan singkat itu di meja kasir: apa kabar si Tuan Alien, di mana ia tinggal sekarang, apa Nona masih sering menghubungi Tuan Alien. Aku hanya menjawab pertanyaannya dengan bantuan dari kata-kata andalanku: mungkin, barangkali, sepertinya.

Meski kelihatannya tak ada nama tokoh–anggaplah seperti nama Doni, Reza, Anggun, tetap saja ada hal-hal di sekitar kita yang bisa menjadi identitas bagi kita, yang bisa menjadi nama atau panggilan bagi kita. Betapa mengerikannya (atau malah justru bagus) kalau kita dipanggil hanya berdasarkan sesuatu yang menempel pada diri kita.

Cerita dalam novel ini juga terkesan tak berstruktur, tak berklimaks, dan datar. Akan tetapi, novel ini tetap memilliki ending, sama seperti manusia  yang memiliki kematian dan kiamat sebagai pemutus rantai cerita hidupnya. Oleh karena itu, tidak ada istilah 'menghancurkan’ struktur karena novel ini bagiku menawarkan 'struktur baru’.


Alien dan Kesendirian


Dalam surat pertamanya, tokoh aku menulis:


Sejak kecil kita berdua merasa diri kita adalah alien-alien yang tersesat ke Bumi. Kau dan aku bukan manusia, ujarmu suatu waktu.

Awalnya, aku tidak mengerti mengapa tokoh aku menganggap dirinya sebagai alien dan tidak menganggap dirinya sebagai manusia pada umumnya. Apa yang membuat mereka berbeda? Tempat kelahirankah? Adat istiadatkah? Pilihan hidupkah?

Rupa-rupanya, aku tersadar, hampir setiap manusia adalah alien. Mereka merasa dekat dan merindukan keluarganya, padahal lebih sering tidak berbincang atau bercengkerama dengan keluarga. Mereka merasa punya banyak teman meski dalam hati kerap pula menjadikan teman-temannya itu sebagai saingan. Mereka mengejar titel dan jabatan  sekuat tenaga hingga akhirnya  tersadar sendiri bahwa bukan melulu itu yang menjadi sumber kebahagiaan.
Parahnya, kita merasa mengenali diri kita sendiri, padahal sebenarnya tidak pernah tahu siapa diri kita dan buat apa kita hidup. Memang dasar, manusia adalah alien.


Aku bisa berbicara dengan orang lain. Namun aku bahkan tidak mampu berbicara dengan diriku sendiri.

Entahlah, rasanya novel ini selain romantis melankolis, juga amat realistis. Beginilah hidup kita sesungguhnya: datar dan sepi sendiri. Buktikan saja pendapatku ini dengan membaca novel pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012 ini.

Selamat menjadi alien!



**Pernah di-post di asya-azalea.tumblr.com pada July 8th, 2014 8:59pm dan dipindahkan ke blog ini.

0 Komentar