Waktu membaca artikel yang ditulis Izza Nadiya Hikma, yakni "Kenapa Mahasiswa Jurusan Sastra Justru Jarang Jadi Penulis?" di laman Mojok.co, entah kenapa saya jadi tergelitik untuk menuliskan hal serupa. Tetapi pertanyaannya saya balik menjadi: "Kenapa penulis nggak perlu kuliah jurusan sastra?"
Sebenarnya yang ditulis oleh Izza pernah menjadi bahan obrolan saya dengan penulis Aveus Har, kurang lebih sepuluh tahun lalu. Saat itu, mas Aveus Har yang dikenal sebagai penulis sekaligus pedagang mi ayam di Pekalongan, menyatakan keinginannya untuk belajar sastra dan bertanya apa saja yang dipelajari jika kuliah di jurusan sastra. Lebih jauh, penulis yang juga pernah menjadi mentor saya tersebut juga penasaran, apakah belajar sastra akan membantunya menjadi penulis yang lebih baik.
Tentu saja, tanpa tedeng aling-aling saya menjawab, "Untuk menjadi penulis, nggak usah kuliah jurusan sastra, Mas."
Tujuan Adanya Sastra Indonesia di Universitas
Jawaban saya kepada Aveus Har tersebut bukan artinya saya berniat membuat popularitas jurusan sastra Indonesia di berbagai universitas menurun. Tidak ada hubungannya sama sekali. Saya kok yakin jurusan sastra bakal tetap banyak peminatnya. Di UGM saja, peminat jurusan sastra Indonesia masih cukup tinggi. Banyak juga yang tidak diterima saat mendaftar dan tes untuk masuk jurusan ini.
Ada banyak hal yang membuat jurusan sastra Indonesia diminati. Salah satunya adalah orang-orang yang punya pikiran seperti mas Aveus Har. Ingin jadi penulis. Atau, merasa pelajaran bahasa Indonesia adalah pelajaran termudah saat sekolah.
Meskipun begitu, banyak juga yang menjadikan jurusan Sastra Indonesia sebenarnya sebagai pilihan kedua. Termasuk saya sendiri. Dulu waktu memutuskan untuk ikut tes masuk UGM, saya sebenarnya menjadikan jurusan Komunikasi sebagai pilihan pertama. Alasannya, ingin mendapat bisa bekerja di industri broadcasting atau minimal nyemplung di industri pertelevisian atau perfilman--yang hingga detik ini belum pernah saya jajaki. Pragmatis sekali, bukan?
Ternyata saya tidak seorang diri. Bahkan banyak juga yang punya pemikiran yang sama seperti saya. Salah seorang kawan seangkatan saya mundur dari jurusan setelah melewati kurang lebih satu semester menjalani perkuliahan. Waktu itu, saya bertanya, "Memangnya sebelumnya ingin kuliah apa?" Teman saya menjawab, "Komunikasi." Lah, sama! Lalu, dia menceritakan betapa beratnya kuliah sastra, mengingat dia bahkan nggak pernah baca novel atau karya sastra sama sekali. Tidak mau berlarut-larut terlalu lama, dia pun mundur dan ambil program bimbingan belajar untuk ikut tes masuk universitas setahun setelahnya. Lucky him, dia akhirnya berhasil masuk jurusan Komunikasi di Universitas Diponegoro dan berhasil lulus juga.
Kalau dipikir-pikir, wajar saja teman saya ini merasa kesulitan untuk beradaptasi atau mengikuti perkuliahan jurusan sastra. Tidak suka baca karya sastra saja sudah fatal. Bagaimana mungkin mau menelaah sekian banyak karya masterpiece Indonesia jika bahkan membacanya saja nggak berselera?
Nah, jika kurikulum di universitas dibuat lebih mengarah kepada unsur kepraktisan ketimbang membedah karya, mungkin saja teman saya ini bisa punya pertimbangan baru. Sayangnya, hal yang jarang diketahui oleh orang awam adalah tujuan dibuat atau diciptakannya jurusan sastra Indonesia di universitas memang bukan untuk melahirkan penulis, melainkan akademisi sastra. Melahirkan kritikus sastra pun saya rasa tidak. Setidaknya untuk saat ini.
Minimnya Mata Kuliah Praktis
Lupakan bakal mendapat teori bagaimana cara menulis karya sastra masterpiece seperti Pramoedya Ananta Toer atau Ahmad Tohari. Di UGM saja tahun 2008, jumlah mata kuliah yang sifatnya praktis tidak sampai 10% dari total SKS yang harus ditempuh seorang mahasiswa untuk mendapat gelar sarjana sastra. Beberapa mata kuliah yang saya ingat misalnya, Dramaturgi, Komposisi, dan Menulis Kreatif.
Beberapa mata kuliah yang sifatnya praktis ini pun tidak semendalam itu sebenarnya. Contoh, mata kuliah Dramaturgi. Memang, output dari mata kuliah tersebut adalah mahasiswa dapat membuat pertunjukan drama dan film pendek. Meski begitu, jujur saya baru belajar lebih detail soal teori tiga babak, belajar breakdown plot, dan sejenisnya justru saat saya sudah menjadi editor di sebuah penerbit. Bahkan, saya tahu teori-teori menulis cerita ala Stephen King setelah saya merasa dituntut untuk bisa menilai sebuah novel layak atau tidak untuk diterbitkan. Sebelumnya, mana saya tahu? Ditambah lagi, era internet dan digitalisasi kala itu belum semasif sekarang.
Di jurusan sastra Indonesia kala itu ada mata kuliah praktis yang menyenangkan, misalnya Menulis Kreatif--dulu diampu oleh Bapak Aprinus Salam. Beberapa kali, mahasiswa diberi challenge untuk menulis beberapa ragam tulisan, seperti esai, feature, dan cerpen. Tapi ya, lagi-lagi, dengan hanya 3 SKS, mata kuliah ini tidak cukup membekali seorang mahasiswa sastra menjadi penulis.
Jadi, daripada repot-repot menghabiskan masa kuliah tiga sampai empat tahun kuliah sastra untuk menjadi penulis, kenapa tidak mulai menulis saja dari sekarang? Jika menulis sekarang, kita akan punya jam terbang. Kita akan terlatih berkarya. Minimal banget, berani dan konsisten berkarya.
Baca Juga: Mengapa Naskah Saya Ditolak dan Dianggap Tak Layak Terbit?
Yang Dibutuhkan Adalah Kemampuan Mengurai Pikiran
Teman-teman kuliah saya dulu sangat suka dengan mata kuliah Menulis Kreatif. Pasalnya, dalam mata kuliah tersebut kami diajak "berjudi", mengumpulkan seribu dua ribu rupiah per orang. Uang tersebut akan menjadi hadiah bagi siapa pun yang berhasil mendapatkan predikat tulisan terbaik di kelas itu. Sudah kelasnya isinya praktik, dapat duit pula. Rasanya seperti mendapat honorarium terbit.
Berbanding terbalik dengan mata kuliah Menulis Kreatif, ada satu mata kuliah yang cukup dibenci oleh kebanyakan teman-teman. Nama mata kuliahnya: Komposisi. Mata kuliah ini bukan sembarang mata kuliah karena diberikan kepada mahasiswa dalam dua tahun pertama seingat saya. Mata kuliah Komposisi dalam jurusan Sastra Indonesia kala itu--yang saya tangkap--adalah untuk melatih dan mengembangkan keterampilan mahasiswa dalam menulis secara efektif dan benar. Bukan soal menulis dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar saja, melainkan kami diharapkan dapat menyampaikan ide, pendapat, dan argumentasi secara jelas dan terstruktur.
Jadi, jelas sekali bahwa sebelum kami berkutat untuk menerapkan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (PUEBI/EYD), tata bahasa, dan penggunaan kata baku sesuai KBBI, kami harus bisa menulis secara terstruktur. Karena bagaimanapun juga, menulis adalah soal kemampuan mengurai pikiran. Saat menulis sesuatu, kami tidak bisa asal mengetikkan satu dua kata yang terlintas di kepala, tetapi harus memikirkan urutannya, hubungan sebab-akibatnya, dan bagaimana bisa punya argumentasi yang sesuai dengan topik yang ditulis. Kami juga tidak bisa serta-merta menuliskan gagasan yang terlalu abstrak, misal seperti "membaca dapat membuka jendela dunia" tanpa memberikan gambaran konkret tentang apa itu "membaca" dan apa itu definisi "jendela dunia".
Mata kuliah inilah yang sampai sekarang sangat membekas dalam ingatan saya. Saya bahkan tidak bisa lupa dengan ungkapan khas sang dosen, "Iki tulisan opo grontol wutah." (Ini tulisan atau muntahan biji jagung). Kebetulan dosen yang mengampu mata kuliah tersebut memang tidak banyak bicara dan cukup nyeleneh, tetapi pada akhirnya saya paham bahwa menulis memang soal menuangkan pikiran yang tadinya sangat abstrak, menjadi sejelas mungkin, sehingga siapa saja yang membacanya akan paham isi maupun duduk perkaranya.
Hal ini pulalah yang memperkuat pandangan saya bahwa memang tidak perlu kuliah sastra secara mendalam untuk bisa menjadi penulis. Sepanjang seseorang dapat dengan mudah mengurai isi pikirannya ke dalam tulisan, maka ia bisa menjadi penulis profesional. That's it. Hal ini berlaku dalam menulis berbagai jenis karya, entah yang sifatnya ilmiah (artikel, laporan, skripsi) maupun kreatif (puisi, prosa fiksi, drama).
Jebakan Nyastra
Selain beberapa hal yang saya sebutkan di atas, seseorang yang pernah ambil kuliah sastra, biasanya sering masuk "jebakan nyastra". Artinya, kita hanya bisa menyebut diri kita penulis jika sudah punya karya yang "nyastra". Entahlah dikotomi karya sastra-karya populer ini masih ada atau nggak di dalam perkuliahan. Yang jelas, di kala itu rasanya semua mahasiswa Sasindo UGM menjadikan Mbak Ramayda Akmal atau Mas Asef Saeful Anwar sebagai acuan untuk menjadi penulis keren. XD
Padahal ya, seringnya itu jebakan pikiran kita sendiri. Kalau terus-menerus menunggu menjadi penulis yang "nyastra", ya bisa jadi seorang mahasiswa sastra nggak akan bisa jadi penulis. Kalau menunggu masuk nominasi penghargaan sastra Dewan Kesenian Jakarta atau harus menerbitkan karya sastra di koran atau surat kabar, ya barangkali itu sama aja seperti melupakan mimpi jadi penulis.
Di dunia sastra yang terus bergulir, dari yang tadinya acuan orang-orang menerbitkan karya di Gramedia hingga sekarang kita disuguhi begitu banyak platform untuk penulis, jebakan "nyastra" inilah yang membatasi diri. Yang dilihat dari seorang penulis, ya, tulisannya. Tidak kurang, tidak lebih. Untuk bisa menulis, seseorang paling tidak harus meluaskan pandangannya. Bahkan, jika tidak menjadi seorang spesialis pun, ada pilihan untuk menjadi seorang generalis. Saya pun sudah memberi beberapa pandangan saya ini dalam pembekalan wisuda tahun 2022, silakan dibaca sendiri pada tautan di bawah ini hehehe.
Baca Juga: 3 Hal yang Sebaiknya Perlu Dilakukan oleh Fresh Graduate
Pandangan dari Industri Sastra, Bukan Akademisi
Tidak pernah ada jaminan bahwa seseorang yang kuliah sastra Indonesia lantas akan menjadi penulis ternama di Indonesia. Selama ia tidak pernah menulis, berkuliah sastra di universitas tidak serta-merta membuat seseorang menjadi penulis. Selama universitasnya memang lebih sering memperbincangkan strukturalisme atau sederet kerangka berpikir lainnya, tidak akan ada pengaruh signifikan antara lulusan sastra dan berapa banyak penulis profesional yang dihasilkan. But I don't know kalau ternyata besok ada semacam institut khusus penulisan kreatif layaknya dunia perfilman didominasi orang-orang Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin ini bisa jadi renungan untuk pemerintah dan pihak universitas? Misalnya, mau dibawa ke mana peran universitas dalam dunia sastra? Apakah ya sudah, akan melanjutkan langkah sekarang, dengan mencetak akademisi sastra saja--plus memperbanyak dosen-dosen sastra yang berkualitas? Atau misal, ingin terlibat lebih jauh dalam industri sastra yang tentu saja saat ini penuh tantangan, terutama dengan intervensi teknologi yang sedemikian besar.
Bahasa kerennya, positioning.
Pun jika ingin mencoba positioning ke industri sastra, tidak bisa semudah itu mewujudkannya. Dibutuhkan kerangka yang matang dan dukungan dari orang-orang yang benar-benar terjun dalam industrinya--yang biasanya tidak pernah kepikiran untuk kembali ke universitas sekadar memberikan kuliah umum, misalnya.
Pertanyaan serupa ini juga pernah melintas ketika saya dihadapkan pada positioning penerbit maupun platform, terutama di era AI seperti sekarang. Penerbit maupun platform rasa-rasanya perlu memikirkan ulang, langkah apa saja yang akan diambil, apakah mau jadi distributor, kreator, atau ya sudah, jadi kurator saja.
Jadi, tidak ada kesimpulan dalam tulisan saya ini. Saya cuma mau mengajak siapa saja yang membaca bahwa jika ingin menjadi penulis, sudah tahu kan apa tindakan yang harus dilakukan sekarang?
Baca Juga: Setelah AI, Selanjutnya Apa Lagi?

0 Komentar