Tidak berbuat apa-apa pun bisa menjadi berbuat apa-apa dalam pikiran manusia. Karena harus diakui, menerka-nerka adalah keahlian manusia.
Saya tidak tahu seberapa sering ini terjadi di antara kita, tetapi belakangan saya merenungi kembali sesi konsultasi saya dengan seorang psikolog kira-kira lebih dari dua tahun lalu. Saya memang punya beberapa hal yang membebani kala itu, terutama terkait beberapa relasi kerja yang dalam pikiran saya, pernah mengungkapkan ketidakbecusan saya as a leader.
Waktu itu saya mendapati ada beberapa kata-kata di media sosial milik eks anggota tim saya yang saya tafsirkan ditujukan untuk mengkritik saya. Bukan hanya mengkritik, tapi seolah-olah seperti saya merasa dibenci. Padahal bisa jadi, orang tersebut tidak melakukannya dengan bad intention kepada saya. Bisa jadi dia hanya sharing spontan, saking excited dengan lingkungan kerja barunya atau dengan manajer barunya yang selalu appreciate dan helpful di saat ex-cowork saya ini menghadapi pekerjaan barunya.
Alih-alih mengonfirmasinya langsung atau membuka komunikasi dengan orang tersebut, saya memilih bungkam. Saya hanya memberi dia label sebagai seseorang yang saya harus waspadai. Seseorang yang saya tandai untuk saya menciptakan jarak. Namun, apakah hal tersebut merupakan solusi, at least, untuk diri saya sendiri?
Tentu tidak. Pikiran saya tetap ke mana-mana.
Tidak satu dua waktu saya overthinking. Kepada atasan pun saya demikian. Beberapa kali, saya merasa disalahkan atas keputusan-keputusan yang mungkin tidak tepat diambil. Atau, merasa direndahkan karena projection yang saya hitung, masih jauh dari definisi akurat. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, tidak ada eksekusi yang selalu sesuai dengan perencanaan. Ungkapan "hasil tidak mengkhianati usaha" itu mitos. Sudah berusaha maksimal pun tak selalu menjamin akan membuat kita menghasilkan sesuatu yang sama maksimalnya. Pun salah dalam memahami dan mengambil keputusan adalah hal yang lumrah terjadi. Manusiawi.
Dari sesi singkat itu, si psikolog itu berkata, "Realitas kita itu netral. Pikiran kitalah yang menafsirkan."
Saya hening sejenak untuk merenungkannya. Mencoba mencari titik temu atas perkataan psikolog saya tersebut dengan beberapa peristiwa dalam hidup saya.
Mungkin dia benar.
Manusia terlalu sering menerka-nerka.
Tidak Menyukai Bukan Berarti Membenci
Pernahkah kamu begitu mudah menegasikan sesuatu dalam hidupmu? Semacam mengambil kesimpulan terhadap sesuatu yang sifatnya berlawanan dari yang terlihat?
Hal yang paling sering terjadi mungkin berkaitan dengan kalimat larangan. Semakin sering kita mendengar larangan "jangan dibuka", pikiran kita akan sampai pada kebalikannya, yaitu "mari membukanya."
Logika yang sama pun mewujud dalam beberapa interaksi yang mungkin pernah kita alami. Misalnya saja, jika ada seseorang berkata bahwa ia tidak menyukai aktivitas berat seperti lari maraton atau naik gunung, bukan berarti orang tersebut lantas membenci orang-orang yang melakukannya, bukan? Atau, jika ada orang yang sama sekali tidak pernah berkata menyukai kita atau pun memuji kita, bukan berarti juga ia pasti membenci kita.
Yang tidak orang lain lakukan bukanlah negasi dari hal-hal menyenangkan yang kita lakukan atau harapkan.
Bisa jadi seseorang yang bilang tidak bisa melakukan aktivitas berat di depan kita, itu artinya sedang mencari bahan obrolan dengan orang-orang yang gemar melakukannya. Dari sedikit yang pernah saya temui--atau bahkan, lakukan--sebenarnya hanya karena itu saja atau mungkin karena ada kondisi penyakit tertentu dari orang yang mengatakannya. Yang lebih banyak terjadi adalah ya sebenarnya orang itu sangat ingin menjadi dirimu atau bisa melakukan atau mencapai yang kamu sudah lakukan. That's sounds funny, but it makes us more human I think.
Seseorang yang tidak pernah menghujanimu dengan kata-kata “cantik”, “pintar”, atau kosakata keren lainnya, bukan berarti definisi dirimu di mata orang tersebut adalah kebalikannya. You're smart, beautiful, and capable. As you are. Memang, ada orang-orang yang sedari kecil tidak terlatih untuk mengucapkan kekaguman. Lagi-lagi, ini bukan sepenuhnya salah mereka.
Meskipun saat menjawab soal pelajaran bahasa Indonesia kita akan mengisi kata “benci” sebagai lawan kata dari “suka”, kenyataannya tidak seratus persen demikian. Bahasa sebagai alat komunikasi ada kalanya tidak dapat mengakomodasi pikiran manusia. Coba dipikirkan baik-baik. Tidak menyukai tidak selalu berarti membenci. Tidak pernah mengatakan suka atau mendukung seseorang bukan berarti selamanya akan kontra pada hal-hal yang diucapkan atau dilakukan orang tersebut, bukan?
Tanpa disadari, penegasian yang diada-ada ini sering kali bikin kita merasa dibenci, bukan sungguhan dibenci. Kita merasa dimusuhi, tidak memiliki teman, atau dalam pikiran kita bisa berubah menjadi, “aku adalah korban”.
Kalau dipikir-pikir lagi, hal ini terlihat sepele, tetapi ternyata cukup serius. Bagaimana bisa realitas di sekeliling kita yang mungkin netral, ditafsirkan sedemikian rupa, bahkan selalu dinegasikan? Tak heran jika kebiasaan menerka-nerka itu kian menjadi bola liar dalam otak kita.
Menghindari Hiperbola
Tidak mudah untuk menghindari prasangka dan perbuatan menerka-nerka. Boleh dibilang hampir mustahil untuk sama sekali tidak berprasangka. Ujung-ujungnya yang bisa dilakukan hanyalah berdamai dengan diri sendiri sembari berusaha mencari-cari cara untuk mengurangi frekuensi dalam berlebihan berasumsi dan menafsirkan.
Maka dari itu, hal pertama yang saya lakukan adalah mulai berlatih untuk menjabarkan sesuatu dengan lebih netral. Contoh, alih-alih bilang, "Langit sore ini cantik dan romantis", saya bisa menggantinya dengan "Langit sore ini berwarna jingga dengan semburat keunguan." Saya berlatih mendeskripsikan sesuatu dengan apa adanya. Tidak ditambahi dan tidak dikurangi. Tak perlu hiperbola. Toh, saya tidak sedang menulis novel.
Psikolog saya sempat menasihati saya dengan hal serupa, yakni menyarankan untuk mengucapkan apa yang kita lihat di sekeliling kita. Lampu LED warna putih yang terang. Kipas angin yang berderit saat berputar. Suara nyamuk yang melintas. Aroma vanila pada roti yang dipanggang. Pahitnya kopi hitam yang masuk ke mulut. Meja kerja yang permukaannya kasar dan berdebu. Begitu seterusnya. Semakin banyak melibatkan pancaindra, sekaligus semakin apa adanya, semakin baik.
Tak hanya berfungsi untuk bikin kita mengenali mana realitas dan mana yang sudah tercampur dengan penafsiran, metode ini konon bisa kita gunakan untuk mengambil jeda. Di era hidup yang serba cepat, manusia cenderung terotomatisasi, seolah semua harus cepat, harus dibalas atau dikerjakan saat itu juga. Padahal, manusia tidak sama dengan robot. Setiap manusia berhak menjedai apa pun agar dapat melakukan banyak hal dengan penuh kesadaran.
Baca Juga: Setelah AI, Selanjutnya Apa Lagi?
Kamu Bukanlah Pusat Dunia
"Kamu bukanlah pusat dunia."
Saya pernah mendengar kalimat semacam ini terlontar di media sosial, ditujukan kepada orang-orang yang terlihat beda dan ingin diakui--istilah gaulnya, pick me person. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, kalimat tersebut sebenarnya bisa menjadi nasihat bagi siapa saja yang gemar menafsirkan perkataan orang lain secara berlebihan.
Contoh yang paling sering saya temui adalah perkara status di media sosial atau instastory. Pernah kan seolah merasa tersindir dengan postingan seseorang, seolah-olah memang ditujukan untuk (menyakiti) kita? Padahal hidup mereka gak melulu tentang kita. Sama juga halnya hidup kita yang gak cuma buat mereka. Everybody's busy. Memikirkan secara mendalam hal-hal yang sebenarnya mungkin tidak seburuk atau sejahat itu merupakan kesia-siaan.
Lebih parahnya lagi, jika terlalu sering menyimpulkan bahwa apa yang orang lain tulis, ucapkan, dan lakukan adalah untuk kita, somehow kita jadi merasa menjadi korban. Sepanjang waktu kita jadi berpikir untuk mengasihani diri sendiri. Berlarut-larut merasa tersakiti tanpa memikirkan solusi. Alih-alih mengembangkan diri, kita jadi kehilangan jati diri.
Diri kita bukanlah pusat dunia. Kita hanyalah sebagian kecil dari semesta. Tidak usah terlalu percaya diri. Satu-satunya orang yang dapat menganggapmu pusat dunia hanyalah dirimu sendiri. Jangan buat orang lain menjadi yang paling bertanggung jawab atas apa-apa yang menimpa dirimu. Dirimu sendirilah yang berhak untuk mengatur fokus dan menakar kemampuanmu.
Segala-galanya bukan tentang kamu, tapi segala-galanya ada juga di tanganmu.
Taking Nothing Personally
Karena selalu terjebak situasi seperti dijabarkan di atas secara terus-menerus, saya pun mulai mencari-cari cara, lalu bertemu dengan prinsip taking nothing personally.
Singkatnya, prinsip taking nothing personally adalah tidak mengambil hati--saya kurang setuju dengan istilah jangan baperan, jadi saya anggap istilah ini dapat menggantikannya. Dengan kata lain, berusaha untuk tidak menjadikan apa yang diucapkan atau dilakukan orang lain sebagai sesuatu yang mengusik pikiran kita. It’s all about them, not you. Jadi, dengarkan saja, tanpa terlalu jauh mengartikan. Lihat saja, tanpa bereaksi, apalagi mencari-cari cela. Kerjakan, tanpa tinggi ekspektasi. Jika terlibat dalam hubungan yang transaksional, misal dalam relasi kerja, ya tetapkan clear goal di awal. Buat ekspektasi bersama. Jika tidak tercapai ya biasakan no drama. Merasa bisa ya dikerjakan, tidak bisa ya tinggalkan. Take it or leave it.
Jika sudah berprinsip seperti itu, hal-hal yang tidak bisa kamu kontrol, tidak akan lagi menjadi perhatianmu. Kamu pun tidak tergoda untuk berasumsi karena selalu menjedai atau bahkan mengakhiri interaksi sesuai porsi dan kebutuhannya. Kamu akan mulai terbiasa dengan mental boundaries, tanpa harus menjadi manusia yang nirempati.
Kedengarannya simpel sekali, tapi percayalah praktiknya tidak semudah menggulir ke atas video pendek yang beredar menurut kehendak algoritma saat membuka media sosial. Saya pun berkali-kali gagal dan mencoba lagi. Memang kenyataannya, butuh tidak cukup sekali dua kali proses penerimaan diri, atau sekadar mengakui sekelumit rasa insecure dalam diri sendiri.
Mengapa? Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang egois. Tidak terhitung banyaknya pemikir yang mengungkapkan hal ini, mulai dari Sigmund Freud sampai Richard Dawkins--yang tentu saja dari kacamata yang berbeda-beda. Manusia rasa-rasanya terlahir untuk berkompetisi satu sama lain.
Jadi, tidak pernah ada solusi pasti untuk kita memusnahkan prasangka atau menghindarkan diri dari perbuatan menerka-nerka. Namun, seperti yang Dawkins pernah bilang, "Individuals are not stable things, they are fleeting." Sepanjang perjalanan, kita mungkin akan berubah-ubah. Mari mulai berdamai dengan apa-apa yang tidak dimiliki dan mungkin mulai menerima kenyataan bahwa diri kita bukanlah pusat dunia.
Tak hanya itu, setiap kali mulai menerka-nerka, mari kita coba tertawakan kemunculannya. Katakan dalam kepala, “Terima kasih sudah hadir dan menjadikanku manusia biasa.” Because prejudice is humankind's greatest skill. Perhaps.
0 Komentar