Setelah AI, Selanjutnya Apa Lagi?




Beberapa tahun terakhir, kita mengalami percepatan teknologi digital yang luar biasa. Ranahnya tidak hanya soal 'akses', tapi juga 'produksi'. Beberapa orang mulai khawatir. Terutama setelah artificial intelligence atau disingkat AI, menjadi sesuatu yang tidak mewah lagi alias mudah dijangkau siapa saja. 


Bagaimana AI Dapat Memangkas Proses Pekerjaan Manusia? 

Artificial Intelligence atau AI adalah sebuah penemuan, produk manusia juga sebenarnya. Konsep dasar teknologi AI ini kayak mimikri, tapi yang ditirukan adalah kecerdasan manusia. Bukan sembarang teknologi, AI dibuat juga berdasarkan data yang diberikan dan data yang sudah ada.

Uniknya ya, Indonesia merupakan negara paling optimis kalau lagi ngomongin AI wkwkwk, berbanding terbalik dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Prancis. Bahkan digadang-gadang, pertumbuhannya sebesar 27 persen. Alasannya macam-macam sih, tapi yang paling sering saya dengar bahwa AI dapat memangkas waktu kerja kita. Contohnya, saat ingin menulis sebuah artikel, risetnya bisa dibantu AI. Jika satu riset biasanya butuh waktu tiga jam, artinya pekerjaan kita bisa lebih cepat tiga jam. Atau misalnya melakukan coding, udah gak perlu lagi nulis fungsi manual satu per satu. Tinggal ngetik requirements-nya aja, nanti tinggal diubahsesuaikan sesuai kemauan shareholder.

Senada dengan hal di atas, Bill Gates pun memprediksi bahwa dengan kemudahan yang ditawarkan AI, manusia katanya lebih bersantai. Gak perlu, kerja lima hari seminggu, tiga hari aja cukup. Ya asal gak ada company yang manfaatin jadi tiga x 20 jam aja sih 🤪

Nah, apakah AI benar-benar bisa menggantikan manusia? Ini pertanyaan retoris ya. Tapi kalau kita melihat dari kacamata business owner, memang akan banyak pekerjaan yang bisa digantikan oleh AI. Kalau sebuah perusahaan bisa develop product hanya dengan satu manusia, sisanya AI, buat apa menghabiskan uang untuk hiring sepuluh orang developer? Gak heran, belakangan banyak berita layoff, terutama di perusahaan teknologi.


Produksi Sastra di Era Serba ChatGPT

Awal Oktober lalu, saya sempat mendadak jadi pembicara di salah satu acara dinas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara tersebut berhubungan dengan bidang sastra, yang kebetulan match dengan latar belakang pendidikan dan profesi saya sekarang. Waktu itu, saya juga disandingkan dengan seorang pembicara lain, pakar digital marketing gitulah, dengan harapan bahwa setiap peserta yang ikut acara tersebut dapat memasarkan karyanya. 

Lucunya ya, di saat pembicara tersebut ngasih materi yang mungkin bisa orang sebut 'daging', saya malah kasih presentasi sederhana, kurang lebih tentang apa tujuan menulis. Saya haqqul yaqin ada manusia-manusia yang underestimate pas tahu materi saya begitu. Tapi di mata saya, komentar 'materinya daging' itu udah overrated. Goals seseorang dalam mengikuti acara sebenarnya bukan hanya menimbun materi, kan? Tetapi bagaimana materi yang disampaikan itu bisa men-trigger seseorang melakukan langkah selanjutnya. That's called impact

Saya menyuguhkan materi sederhana itu bukan tanpa alasan. Saya sudah mendapat informasi dari panitia bahwa peserta kebanyakan adalah anak usia sekolah, 15 - 22 tahun. Waktu tahu itu, saya berasumsi mereka tech savy. Dari lahir, udah tahu ada produk peradaban bernama internet. 

Ternyata betul, waktu pemateri ngomong panjang lebar di depan, gak ada yang gak pegang smartphone. Ibaratnya nih, kalau butuh tips menulis novel digital, mereka bisa googling sendiri, gak perlu lah ikut-ikut acara sampai nginep segala. 

Waktu saya bilang, kalau nulis buat cari cuan, ngapain capek-capek nulis sendiri? Bukannya sekarang udah ada AI? Tinggal ketik aja perintah yang tepat dan spesifik, kita bisa mendapatkan outline novel yang sesuai dengan kemauan kita. 








Besok ketika AI bahkan udah bisa bikin puisi (sekarang belum, puisi yang di-generate AI jelek banget wkwkwk), ngapain digital publishing platform kayak Cabaca gitu, harus menerima karya kamu? Mereka tinggal pakai editor in house buat nulis novel pakai AI. Lebih cepat, dan bahkan mungkin, bisa lebih sesuai dengan selera pasar. 

Mereka langsung mikir keras. 

Selamat datang, Revolusi Industri 6.0 😂😂😂

Inilah fungsinya berpikir fundamental. Artinya, ketika teknologi nantinya bukan hanya berfungsi sebagai alat yang membantu manusia, tetapi bahkan menggantikan manusia, terutama dalam mencari uang (kalau industri ya untuk mencari profit sebanyak-banyaknya), hal esensial semacam apa-tujuan-menulis, menjadi barang langka. Perjalanan kita jadi kembali ke awal. Baru, tetapi tidak pernah benar-benar baru. Pengulangan abadi kalau dalam konsepnya Nietzche. 

Hal ini otomatis jadi tantangan baru untuk seluruh elemen bidang produksi sastra, baik penulis, penerbit, pemilik platform, dan seterusnya. Apakah masih akan terus memproduksi sastra (kontributor)? Ataukah, fungsi kita berubah menjadi kurator? Atau, malah ya udah, kita-kita ini akhirnya hanya distributor atau bahkan konsumen saja (itu pun kalau masih kita konsumsi)? 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak untuk dijawab sendiri. Tetapi saya yakin sudah menanyakannya di forum yang tepat, di generasi baru yang akan memegang tongkat estafet. Setelah AI, selanjutnya apa lagi? 

Kalau saya pribadi, kemarin sudah isi formulir menjadi penulis buku filsafat. Kalau tidak keterima, ya akan saya tulis di sini. Tentunya, jika tidak terhalang kemalasan diri sendiri. 




0 Komentar