3 Hal yang Sebaiknya Perlu Dilakukan oleh Fresh Graduate

Kali ini tumbenan konten blog saya jadi mirip seorang motivator ya? Tapi just in case ada yang membutuhkan beberapa tips untuk fresh graduate, silakan baca tulisan saya berikut ini. Oya, tulisan saya ini sebenarnya adalah transkrip dari apa yang saya sampaikan dalam Pembekalan Calon Wisudawan "Inspiring Alumni" pada Senin, 21 Februari 2022. Rasanya, sayang aja gitu kalau tulisan ini dihapus begitu saja.

Semoga dapat bermanfaat bagi yang membaca. 






Halo, selamat pagi. Assalamualaikum wr. Wb.

 

Sebelumnya saya mau mengucapkan terima kasih dulu kepada Fakultas Ilmu Budaya UGM atas undangan yang diberikan sehingga saya bisa hadir dalam forum ini, bapak Dekan, bapak ibu dosen, bersama banyak alumni hebat, salah satunya tentunya Bapak Dr. Muh. Harris, S.S., M.si. Selamat pagi, Bapak Haris. Terima kasih juga untuk teman-teman mahasiswa dan calon wisudawan yang meluangkan waktu untuk berkumpul dalam acara pembekalan  calon wisudawan pada pagi hari ini.

 

Mungkin sebelum melanjutkan obrolan dan diskusi lebih jauh, izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Fatimah Azzahrah. Saya dulu kuliah di Sastra Indonesia UGM, masuk tahun 2008 dan lulus 2012. Jadi tahun ini hampir genap 10 tahun sudah sejak saya lulus ya. Sejujurnya sewaktu pertama kali dikontak oleh salah satu dosen kesayangan, yaitu Bapak Pujiharto, saya agak terkejut begitu, karena saya emang hampir gak pernah main ke jurusan. Kecuali kalau ada urusan legalisasi ijazah, yang seperti itulah. Cuma memang pada tahun 2019 lalu saya sempat mengisi salah satu kegiatannya teman-teman KMSI, saya sempat ngobrol di situ dan sharing soal seluk-beluk profesi editor, juga sempat mengajak teman-teman bikin lomba nulis bareng juga waktu itu. Nah, makanya jadi kaget gitulah. Tapi tanpa berpikir panjang, saya langsung mengiakan undangan tersebut dan meluangkan waktu untuk berbicara di forum ini, gitu. Karena saya mikirnya gini. Acara seperti ini layak untuk diapresiasi. Saya jujur agak lupa, apakah dulu ada yang semacam ini, atau sayanya yang kuper gitu ya jadi ketinggalan informasi, atau mungkin ada dan ikut, tapi saya ketiduran gitu di forumnya hehehe. Tapi saya senang, bisa hadir sebagai perwakilan alumni yang biasa-biasa saja gitu ya. Artinya, setidaknya mahasiswa yang akan lulus itu ya gak bingung-bingung amat gitu untuk menjalani kehidupan setelah lulus dan tetap bisa berkontribusi dan berkembang di jalurnya masing-masing.

 

Karena seperti yang kita ketahui bersama, tidak semua lulusan FIB gitu ya akan jadi akademisi semua, atau jadi dosen semua. Mungkin juga gak semua berkesempatan untuk jadi pemimpin daerah seperti bapak Harris gitu misalnya. Di angkatan saya aja seingat saya tidak sampai 5 orang yang jadi dosen. Peneliti dan ASN ada beberapa, tapi harus diakui gitu mayoritas lulusan FIB UGM ini terserap ke industri gitu ya, entah itu bekerja di perusahaan seperti yang saya lakukan atau mungkin mengembangkan bisnis sendiri gitu ya. Jadi di situlah saya merasa bahwa ya mungkin itulah fungsi kehadiran saya hari ini, untuk menampilkan wajah alumni dan berbagi pengalaman aja, kayak saya biasa isi sharing session gitu di beberapa event.

 

Tapi mohon maaf sebelumnya, saya tidak dapat menampilkan presentasi atau slide gitu ya, karena jujur aja belum sempat menyiapkan apa-apa. Jadi mungkin saya akan lebih banyak cerita tentang kind of perjalanan karier? Mungkin juga sedikit tips dan motivasi. Semoga gak bikin temen-temen bosen ya.

 

Jadi, setelah lulus, saya juga mengalami apa yang lumrahnya dialami oleh fresh graduate. Saya gak tahu mau ngapain. Pada waktu itu, dosen pembimbing dan dosen penguji sebenarnya menyarankan saya untuk melanjutkan studi, tapi apa daya prioritas hidup saya itu berkata lain gitu ya. Ya entah besok, atau semester depan, atau tahun depan, bisa saja saya memutuskan untuk sekolah lagi. Nah tapi di tahun 2012 waktu itu yang saya pikirkan hanyalah melamar pekerjaan, apa saja. Apa lagi yang terbuka gitu dengan fresh graduate, dari mulai training business development, trus agen asuransi, teller bank, guru, dan masih banyak lagi. Saya juga melamar pekerjaan yang sinkron gitu ya dengan latar belakang pendidikan, misalnya reporter, creative team di stasiun TV, dan juga editor. Dan alhamdulillahnya saya justru diterima di salah satu penerbit mayor yang kantornya di Jogja, jadi staf editor divisi fiksi populer. Yah paling gak, nyambung lah ya dengan Sasindo gitu.

 

Lucunya, ternyata pekerjaan editor tuh gak cuma menyunting. Ini pernah saya paparkan juga dalam event bersama KMSI beberapa tahun lalu. Editor itu fungsinya lebih ke menjadi jembatan antara penulis, pembaca, dan juga industrinya gitu. Jadi tidak melulu mengurusi teks. Bahkan di beberapa kesempatan, seorang editor paling gak harus punya wawasan juga seputar teori kepenulisan, yang justru tidak banyak saya dapatkan ketika kuliah. Ketika kuliah dulu, seingat saya, mata kuliah yang punya tujuannya praktis, hanya sekitar 10% gitulah ya dari total SKS yang saya ambil. Karena kebanyakan selama berkuliah, yang saya dapatkan adalah soal kajian teks, melihat sastra dari sudut pandang tertentu. Tidak dari penciptanya atau bagaimana menciptakannya gitu. Jadilah, pada saat bekerja sebagai editor, saya tergerak untuk belajar sendiri, dari banyak buku, misalnya dari Stephen King dan menjelajah dari satu blog ke blog lain. Sekadar untuk menambah wawasan.

 

Nah, selama dua tahun kurang lebih saya bekerja, saya justru tertarik dengan social media marketing. Pada waktu itu hampir semua penerbit mulai menjajaki media sosial sebagai salah satu sarana promosi, utamanya di Facebook, Twitter, dan juga blog/website. Selain itu, di tahun-tahun itu ya, seingat saya, Wattpad sebagai salah satu platform dengan konsep user generated content, mulai masuk ke Indonesia dan menjadi salah satu yang terbesar sampai sekarang. Dari situlah mulai belajar-belajar sendiri, melihat bagaimana internet bekerja, dan saya mulai membayangkan bagaimana jadinya diri saya jika internet bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Saya memutuskan resign setelah itu dan mulai jadi content writer di salah satu web gitu ya, belajar membuat artikel yang menunjang pencarian kata di Google--kalau teman-teman pernah dengar, SEO based (search engine optimisation). Lalu sempat tergabung dalam project dengan Bukalapak, jadi copywriter untuk kebutuhan marketing, selama kurang lebih setengah tahun. Sampai akhirnya saya menjadi salah satu penggagas Cabaca.id, sebuah platform baca dan penerbitan digital. Di sini ada yang udah pernah liat atau bahkan pernah nyobain pakai?

 

Ini kalau diceritain gini, kayaknya perjalanannya singkat banget gitu ya, padahal nggak.

 

Saya memulai Cabaca pada tahun 2017 bersama alumnus UGM juga, mungkin ada yang pernah dengar nama Anggit Tut Pinilih. Beliau lulusan HI UGM dan sebelum Cabaca, pernah mendirikan banyak perusahaan teknologi lainnya, misalnya Mbak Diskon, Jakpat, atau yang paling hype Mamikos itu ya. Awalnya saya diajakin untuk memikirkan konsep aplikasi baca karena beliau tahu betul background saya dan waktu itu masih banyak ada potensi juga. Di tahun 2017 situs yang populer di antara penulis masihlah Wattpad. Dari lokal masih sedikit dan banyak yang tidak berlanjut. Gak seperti sekarang ya, perusahaan berbasis teknologi informasi dalam negeri sudah banyak. Belum lagi banyak sekali platform luar yang ekspansi ke Indonesia.

 

Dari ajakan itu, saya mulai memikirkan untuk mengadaptasi konsep-konsep penerbit mayor tetapi dikawinkan dengan teknologi. Contohnya,  memikirkan jalan bagaimana teknologi bisa mengeliminasi proses distribusi sebuah produk sastra. Jadi gak perlu tuh kita bayar jaringan distributor dengan konsinyasi lumayan besar, hanya demi sebuah karya mejeng di salah satu toko buku terbesar di Indonesia. Saya jadi sering ngobrol dengan teman-teman yang kuliahnya di TI, mendiskusikan rancangan produknya kayak apa dst. Gak hanya itu, saya juga memikirkan business plan juga, dan mencari cara bagaimana produk Cabaca ini juga dapat menjadi salah satu solusi atau sumber income bagi penulis karyanya.

 

Apakah setelah itu, hal-hal menjadi lebih mudah? Jawabannya, tentu tidak. Di awal-awal Cabaca rilis, masih cukup banyak orang yang antipati dengan konten digital ya, mulai dari mempertanyakan kualitasnya, berusaha tetap kekeuh dengan jalan ninjanya (maksudnya cetak), hingga penolakan demi penolakan. Saya rasa hal ini dialami oleh banyak perusahaan berbasis teknologi lainnya juga, sebut saja Gojek, Tokopedia, dan lain-lain. Baru setelah pandemi, setelah semua orang seperti diharuskan mengakrabkan diri dengan internet dan di rumah aja, sikap antipati mulai memudar. Diskusi soal senjalaka media cetak pelan-pelan udah gak sekenceng dulu.

 

Tapi tentu saja, ini belumlah akhirnya. Pengembangan masih terus dilakukan dan semoga terus bisa jadi solusi yang baik untuk penulis dan pembaca. Dan justru selama product development yang tiada henti ini, saya merasa malah jadi punya banyak hal baru buat dipelajari. Di dunia yang sedang menuju metavese inilah ya katakanlah, saya jadi berpikir apa lagi ya yang akan saya hadapi. Apakah nanti era artificial intelligence dapat menggantikan banyak hal yang biasa dikerjakan manusia, misalnya menulis? Apakah besok bisa bikin skripsi dengan satu aplikasi saja? Saya rasa pertanyaan-pertanyaan ini mungkin nantinya bisa dijawab oleh teman-teman sendiri. Sekaligus, ini akan jadi tantangan terbesar bagi UGM sebagai lembaga, apakah bisa mengimbangi petualangan yang akan membawa mahasiswa-mahasiswanya?

 

Ini bukan menakut-nakuti ya, tapi justru di kesempatan ini saya mau kasih 3 tips yang patut diingat-ingat oleh teman-teman supaya bisa terus mengembangkan imajinasinya dan menjadi orang-orang yang bisa menimbang-nimbang sendiri kesempatan yang ada.

 

1. Terlepas dari apa yang kita pahami atau yakini, cobalah untuk mengatur perspektif.

 Kadang-kadang gitu ya, hanya dengan berbekal ijazah S1 FIB UGM, kita merasa sudah paling menguasai sastra. Ini lagi gak nyindir siapa-siapa lho ya, ini saya lagi nginget diri saya sendiri gitu, bagaimana arogansi saya di awal lulus kuliah dulu. Hanya karena saya baca-baca buku sosiologi atau pernah diskusiin soal Karl Marx, bukan berarti saya sebagai editor dapat menganggap naskah-naskah masuk yang saya baca sebagai, maaf, sampah. Atau hanya karena sebuah karya tidak mengandung kritik sosial, tidak lantas karya-karya yang ngomongin masalah percintaan itu jelek. Dari sedikit yang saya tahu, bagaimana dunia ini tampak ya tergantung dari perspektif kita. Dan saya rasa, teman-teman yang mencicipi kuliah di FIB UGM paham betul soal ini. Gimana gak ya, hari-hari kita dicekokin bicarain atau mengkaji karya dengan dasar atau sudut pandang tertentu. Jadi, apa yang ingin saya katakan adalah, cobalah untuk mengimplementasikan hal itu. Jika kita melihat karya teenlit lalu terbit keinginan untuk merasa superior, cobalah mengatur perspektif kita menjadi seorang remaja. Atau gampangnya, coba dulu diingat-ingat lagi, apakah sewaktu remaja langsung baca bukunya Pram. Oh ternyata iya ya? Ya udah, that’s good for you. Tapi gak semua remaja punya pengalaman yang sama, bisa aja mereka mulai membaca dari cerita dongeng atau komik barangkali. Dan kayaknya ini berlaku dalam banyak hal di hidup ini ya, gak peduli profesinya apa.

 

2. Bersikaplah terbuka untuk sesuatu yang baru dan terasa asing. Berani bereksperimen.

Pernah gak inget-inget pertama kali rasanya belajar? Apa pengalaman yang paling diinget dari proses belajar? Belajar naik sepeda misalnya, jatuh bangun dulu kan, gak enak dulu kan. Jadi ingatan akan sensasi “tidak enak” itulah yang bikin kita kadang-kadang enggan untuk terbuka terhadap hal baru. Ah, males, malah jadi harus belajar lagi. Ah, ngapain harus adaptasi teknologi, banyak negatifnya, tidak memberi solusi, dan sebagainya. Padahal setelah dijalani, barangkali ya biasa aja gitu atau bakal terbiasa juga nantinya.

Setelah terbiasa untuk terbuka dan bisa menerima hal baru, nanti kita akan jadi lebih ringan untuk bereksperimen. Pertanyaan “what if” akan lebih sering muncul dan tidak mustahil kita bisa menjadi salah satu dari orang-orang yang bisa menyediakan jawabannya.

Jadi keinget juga. Saya pernah tanya gitu ya ke teman-teman KMSI di jurusan Basindo, sekarang ada mata kuliah baru apa? Seinget saya, sudah mulai ada mata kuliah yang mengarahkan ke perkembangan digital. Sebuah eksperimen yang bagus menurut saya. Meski saya tidak tahu, apakah bentuknya masih berupa kajian karya atau bagaimana, setidaknya hal itu bisa jadi semacam angin segar bagi perjalanan pengetahuan yang nantinya akan mengiringi perkembangan teknologi. Saya juga mengapresiasi karena sekarang ini yang saya tahu, sudah ada magang ya? Sesuatu yang di tahun saya kuliah, belum ada, padahal di jurusan lain, bahkan sudah KKN, masih ada kerja lapangan, masih magang pula. Saya jujur iri. Jadi saya rasa di kesempatan ini saya perlu mendorong teman-teman untuk magang di lebih banyak perusahaan. Jangan hanya penerbitan ya teman-teman. Coba kirim surat permohonan magang di marketplace gitu, misalnya sebagai copy writer atau UX writer. Atau mungkin sebagai peneliti di lembaga swasta. Pasti nanti akan berguna sekali untuk menambah wawasan.

 

 

3. Alih-alih menjadi spesialis, ada pilihan menjadi generalis.

Di sini ada yang sudah pernah baca buku berjudul Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World karya David Epstein? Jadi, David dalam buku itu menjabarkan sekaligus agak mendebat gitu ya pandangan bahwa seseorang harus jadi spesialis dulu kalau ingin menjadi unggul atau meraih kesuksesan. Nah, si David menuliskan, telah melakukan banyak riset terhadap seniman, atlet, dsb. Ternyata banyak juga atlet yang tidak mencoba satu jenis olahraga sejak awal. Ada juga atlet yang sukses justru berlatih dengan banyak cabang olahraga lebih dahulu, sebelum memilih satu cabang olahraga.

Dalam kehidupan sehari-hari yang terjadi adalah, kita sejak dulu seolah-olah dituntut menjadi spesialis gitu ya. Contoh, teman-teman dan bapak ibu dosen sekalian di sini adalah spesialis. Belajar dan mengajarkan satu cabang pengetahuan. Alhasil, kita mahasiswanya juga dibuat galau tuh, mau ambil spesialiasasi sastra atau linguistik ya. Memang, spesialisasi ini sangat berguna untuk menentukan fokus, apalagi akademisi. Kalau gak ditentukan, saya rasa gak cukup gitu kuliah S1 jadi cuma 4 tahun.

Namun saat menempuh suatu karier, menurut pandangan saya menjadi generalis bisa jadi salah satu pilihan yang bisa kita ambil. Kita tidak perlu merasa malu apalagi minder gitu ya, hanya karena tidak menjadi spesialis, hanya karena kita tidak menempuh pendidikan yang berkesinambungan. Bahkan ketika kita belajar dan memahami banyak hal di luar spesialisasi kita, mencoba banyak pengalaman di berbagai bidang, sedikit banyak akan mampu memberi kita pandangan yang lebih luas. Bahkan gak jarang bisa membantu kita untuk mengambil keputusan yang lebih make sense.

Selain itu, melihat kecenderungan dunia industri, saya bisa bilang akan ada banyak posisi, pekerjaan, profesi yang bisa diisi generalis dan ini bagus untuk teman-teman yang berkuliah di FIB. Yang saya tahu, teman-teman yang berkuliah di FIB ini adalah orang-orang yang terbiasa connecting the dots atau yang melihat titik-titik gagasan yang berserakan. Ya tentu saja, kita mau ngebahas satu masalah aja bisa dari banyak sudut pandang, dari strukturnya lah, sosioekonominya lah, dari psikologinya lah, dan sebagainya.

 

Trus belajar di Sastra Indonesianya sia-sia nggak? Ya jelas tidak, kebiasaan connceting the dots itu beneran membantu sekali. Dan lagi, jangan pernah merasa apa yang sudah kita pelajari itu sia-sia. Karena yakin deh, sedikit banyak apa yang sudah kita pelajari tetap bakal jadi persepektif baru di komunitas yang berbeda atau di kemudian hari.

 

Kurang lebih itu 3 tips yang bisa saya paparkan. Selebihnya mungkin kita diskusikan saja melalui sesi tanya jawab ya. Sekian dan terima kasih, saya kembalikan kepada moderator.

 

Saya berharap tulisan saya berikut ini bisa menjadi tips bagi fresh graduate sebagai bekal menjalani kehidupan setelah lulus. Sampai ketemu di tulisan ala motivator berikutnya :)

 

 

 

0 Komentar