Mereka Ini Juga Ada di Balik Buku yang Kamu Baca


Kalau dihadapkan pada sebuah buku, pernahkah kamu membayangkan siapa saja yang bekerja keras dan mencurahkan keringat hingga buku itu bisa dinikmati? Mungkin sebagian besar dari kamu akan menjawab penulis, editor, dewan redaksi, pemimpin redaksi, dan sebagainya. Namun, pernahkah kamu berpikir bahwa ternyata satu benda saja di muka bumi ini bisa hadir karena upaya beribu-ribu orang? Selembar pakaian ternyata tercipta dari jerih payah petani kapas, pemintal benang, penenun kain, pemotong kain, tukang buat pola, penjahit, buruh pembuat kancing, pemasang kancing, pembuat obras, dan seterusnya. Well, tidak ada yang patut disombongkan karena manusia tidak pernah bisa melakukan apa-apa seorang diri.

Sama halnya dengan buku dalam hubungannya dengan satu kapal besar bernama penerbit. Bukan orang per orang yang duduk manis di bawah naungan AC saja yang membuat sebuah buku bisa sampai di tangan pembaca. Ada percetakan, ada bagian gudang, dan bagian distribusi. Kecuali bagian distribusi, kapan-kapan aku akan share sekelumit gambaran tentang iklim kerja bagian gudang penerbit.

Pada kesempatan ini, aku akan menceritakan pengalamanku ketika berkunjung ke percetakan milik penerbit tempatku dulu bekerja.



‘Mesin’ yang Mengoperasikan Mesin

Tentu, dewasa ini, teknologi begitu memanjakan manusia. Manusia menciptakan alat yang bisa mengambil alih pekerjaannya. Mesin-mesin kemudian dibuat dan dikembangkan dari hari ke hari. Dan karena sifat dasar manusia yang sebenarnya pemalas, nafsu untuk terus mengikuti dan tidak mau ketinggalan satu alat terbaru pun memaksanya untuk membeli alat-alat yang dibutuhkannya itu, lagi dan lagi.

Tidak ada suatu alat yang tidak bermesin dan lahir dari proses pengeraman uji coba dewasa ini. Akan tetapi, secanggih-canggihnya mesin, bisakah ia hidup sendiri tanpa ada seseorang yang—paling tidak—menekan tombol ON yang terdapat pada badannya? Mungkin hampir mustahil. Semua tetap butuh otak kita, tenaga kita, as a human. Alat dan mesin canggih hanyalah bertugas memperingan dan bukannya mengerjakan semuanya.

Mesin-mesin cetak yang ada pada percetakan juga tidak bisa hidup sendiri. Tetap diperlukan tenaga-tenaga yang terampil untuk mengoperasikan dan mengontrolnya.





Sebelum mem-plat semua file untuk naik cetak, tetap ada tenaga yang berurusan dalam pencampuran warna. Variabelnya jelas banyak, mulai dari merek, takaran, komposisi, kesesuaian dengan jenis kertas, dan sebagainya. Aku sendiri juga tidak paham betul mengenai teknis mesin cetak. :p

Nah, ketika semuanya (baik isi maupun sampul) sudah sukses tercetak, masih ada tenaga yang berperan sebagai pemilah dan penata supaya tidak ada halaman yang terbalik, rangkap, atau bahkan tertukar dengan judul atau file lain. Tetap butuh sumber daya manusia lagi, kan?







Masih ada lagi proses semacam penjilidan alias bending dan pembungkusan setiap buku dengan plastik tipis. Oke, semuanya bisa dikerjakan dengan mesin. Sudah ada mesinnya sendiri-sendiri yang jenisnya pun aku nggak bisa hafal. Tapi, siapa yang mau memindahkan setiap tumpukan kertas dan menatanya sebelum mesin beroperasi kalau bukan manusia-manusia pekerja ini? Ya, kecuali kalau robot udah banyak dipakai perusahaan sih.


Mengorek Sisi Kemanusiaan Diri Sendiri

Dulu, aku ingat sekali. Teman-temanku yang kebetulan ikut berkunjung ke percetakan banyak yang beradu pengetahuan, berdiskusi panjang lebar mengenai hasil cetak yang turun, atau melayangkan protes karena proses finishing yang tidak sesuai dengan yang tumbuh di alam kreativitas mereka. Sudah suhu ruangan di tempat percetakan panas, jadi tambah panaslah.
Lagi-lagi berhubung tidak terlalu paham betul teknis cetak-mencetak seperti teman-teman lay outer atau designer, aku memutuskan untuk berkelana. Foto sana-sini. Tanya ini itu. Tebar senyum ke mana-mana, hehehe. Dan well, hal-hal semacam inilah yang kadang perlu juga kita perhatikan.





Teman-teman bisa membayangkan bagaimana rasanya bekerja berdampingan dengan mesin-mesin yang pada dasarnya sudah panas, berdiri dan mondar-mandir berjam-jam, berkeringat, kemudian ketika mau ke kamar kecil, tempatnya kayak… yang terlihat di atas?

Sejak itu, aku mulai menempatkan rasa maklum ketika sedang merasa kecewa dengan kualitas fisik buku yang mungkin tidak sesuai yang diharapkan. Bagaimanapun juga, mesin-mesin tetaplah mesin yang membutuhkan manusia and we’re only human. Tidak ada yang bisa menghindarkan diri sendiri dari kesalahan. Tempat kerja yang kurang nyaman, gaji yang tidak seberapa, kondisi tubuh yang kadang berubah, jelas akan tetap membuat ada banyak sekali buku cacat.

Malu sendiri aku kalau ingat dulu hobi mengeluhkan naskah masuk yang tumpukannya sama dengan tinggi bocah berusia 3 tahun, sementara aku bekerja bisa sambil duduk dan tidak kepanasan. Kamar mandi terdekat juga bersih. :p

Baiklah, kita memang punya porsi tugas masing-masing. Teman-teman dari percetakan dengan background dan pengalaman yang berbeda sepertinya akan kesulitan juga kalau harus mengerjakan pekerjaan redaksi. Tidak sembarang orang bisa mengonsep dan membongkar naskah sampai bisa jadi bagus dan layak baca. Tapi tidak bisa juga aku, atau orang-orang redaksi, merasa angkuh atau merasa pekerjaan redaksi adalah pekerjaan mulia dan pekerjaan teman-teman percetakan adalah pekerjaan yang sepele. Sangat tidak bisa.

Tulisan ini bukanlah permintaan pemakluman. Sama sekali bukan. Tulisan ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman pembaca bahwa redaksi bukanlah satu-satunya elemen dalam dunia penerbitan. Dan kalaupun kebetulan mendapati buku cacat, tidak perlu langsung bersumpah serapah (marah-marah katanya bikin cepat tua). Cukup kontak penerbit atau distributor yang bersangkutan dan tukarkan dengan yang kondisinya baik. Insya Allah orang-orang penerbit akan dengan senang hati menggantinya dengan yang baru kok. :)


**Pernah di-post di asya-azalea.tumblr.com pada August 5th, 2015 5:24pm 5:46am dan dipindahkan ke blog ini.

0 Komentar