Don’t Judge Book By Its Cover And Don’t Just Make A Good Cover Only

Photo by Abby Chung from Pexels


Sampai detik ini, aku selalu merasa Tuhan Maha Luar Biasa dalam menciptakan indra penglihatan. Sepasang mata bisa membuat kita berkelana, melihat banyak objek yang diselimuti komposisi warna yang beraneka ragam. Sehebat apapun, secanggih apapun, kamera yang telah diciptakan manusia, aku yakin belum ada yang mampu menandingi kemampuan mata dalam menangkap cahaya dan gradasi warna, atau bahkan mengatur fokus secepat kilat tanpa perlu memerhatikan setting-an manual pada kamera DSLR yang terkesan njlimet.

Kalau kamera hanya berfungsi untuk melihat, merekam, dan mengabadikan, maka sepasang mata yang dianugerahkan Tuhan kepada kita juga mempunyai dan akan membawa kita pada fungsi yang lebih dalam: menilai.
Pada kesempatan ini, aku tidak akan berceloteh banyak tentang morfologi mata atau tentang warna, komposisi, desain, bla-bla-bla karena sekali lagi, itu bukan koridorku. Bahkan amat banyak yang berpendapat bahwa kemampuan visualku kurang baik (oyeah?).

Pertama-tama, mari kita lihat foto ini…





Maaf, aku tidak bermaksud mendiskreditkan penerbit tertentu atau toko tertentu. Ini cuma gambaran aja. Di toko buku yang besar dan jadi kesayangan banyak orang itu, keanekaragaman warna dan inovasi sampul buku akan terlihat lebih semarak. Jauh lebih semarak dari yang terlihat di koleksi foto pribadiku. :p

Sekali-kali, berdirilah agak jauh, kemudian tentukan secara spontan mana sampul yang paling bagus dan paling indah. Setelah itu, dari sekian banyak sampul buku, silakan dikira-kira manakah yang kelihatannya akan memengaruhimu untuk membeli atau minimal, membaca teks belakangnya. Kalau aku sih, jujur keder. Semua terlihat bagus. Semua terlihat memikat.
Tapi di mana-mana, yang dari segi appearance memikat tidak selalu berkesan. Benar nggak, ya? Tanyakan saja ke diri kita masing-masing.



Sekian Banyak Penerbit, Sekian Detik Pedekate


Pertarungan sekian judul buku yang dipajang dalam rak raksasa ibaratnya adalah pertarungan seribu cowok jomblo yang sedang memperebutkan satu hati seorang kembang desa. Alay bener ya perumpamaanku. :p Tapi serius, begitulah yang terjadi. Dan pertarungan itu terjadi dalam waktu yang amat singkat.

Karena itulah, setiap penerbit mencoba untuk memperbaiki diri, meningkatkan kualitas sampul buku, mulai dari pengonsepan hingga detail percetakan yang sifatnya sangat teknis. Wajarlah ya. Ibarat kata, biar jomblo harus tetap terlihat keren. Kalau terlihat lusuh, mana ada yang mau ngelirik?

Well, tentu dengan semakin canggihnya teknologi yang digunakan bagian percetakan, semakin besar juga kemungkinan untuk menciptakan sampul buku yang menarik. Tidak ada lagi batasan warna, font, ukuran, atau bahkan laminasi dan penjilidan. Semua bisa dicoba dan diwujudkan. Say good bye deh buat buku-buku yang tampilannya katanya monoton kayak begini.



(photo credit: id.wikipedia.org)



Celakanya, semakin menarik sampul-sampul dari buku yang beredar di pasaran, semakin banyak pembaca buku yang merasa dikecewakan. Waktu lagi iseng main ke toko buku, aku tidak sengaja mendengar percakapan antara anak sekolahan yang intinya: jangan-mau-diPHP-cover-novel-yang-lucu. Mungkin karena setelah beli novel tertentu, terus ceritanya jelek, kecewa, dan akhirnya kembali memegang teguh prinsip ‘don’t judge book by its cover’. See?


Generasi Serba Visual

Pembaca tidak bodoh dan tidak bisa dibodohi. Sekalipun mungkin banyak pembaca dengan kemampuan visual seperti aku (yang katanya kemampuan visualnya kurang baik), tetap saja sekarang kita hidup di era media sosial yang warna-warna nan berkilau. Tengok saja Instagram, Pinterest, dan sebangsanya. Ada banyak inspirasi yang terangkum di sana yang bisa ditiru serta dimodifikasi oleh siapa saja dan kapan saja.

Orang-orang dengan kemampuan visual terbatas seperti aku, sangat terbantu sekali dengan adanya media sosial berbasis visual semacam itu. Ditambah lagi, sekarang orang tidak harus mahir Photoshop, Adobe Illustrator, Corel, dan sejenisnya. Dengan bantuan berbagai macam perangkat dan aplikasi praktis yang bertebaran di Google Play dan bisa diunduh secara bebas, tidak mustahil kalau orang-orang seperti aku mampu memvisualisasikan apapun yang ada dalam pikirannya. Dengan gaya serta cara mereka sendiri.



(photo credit: metrosemarang.com)



Selain itu, pengepungan media sosial serta dukungan dari aplikasi instan tapi memuaskan pada akhirnya akan mengubah mind set atau bahkan penilaian individu tentang bagus tidaknya, menarik atau biasa-biasa saja-nya, sebuah sampul buku. Nilai estetis juga otomatis akan selalu bergerak dinamis, tidak selalu hanya mendasarkan diri pada penilaian yang ahli atau belajar desain komunikasi visual. Percaya deh, besok bakal tambah banyak pelukis atau desainer kece yang nggak perlu belajar ilmu komposisi cuma untuk menghasilkan karya yang bagus. Atau, banyak jasa studio foto dan fotografer yang gulung tikar.



Konten Harus Nomor Satu


Memang, tidak bisa menyamakan industri penerbitan dengan lembaga pers dan penerbitan yang ada di kampus-kampus. Dunia industri jelas selalu memperhitungkan modal, target, deadline, dan laba, tentunya. Arah gerakannya selalu condong ke arah (yang konon) mengikuti selera pasar (entah pasar yang mana, generasi sekarang terlalu pintar untuk disebut pasar). Dunia industri tidak bisa menerapkan sistem menulis skripsi yang ditulis dengan tanggung jawab penuh. Inget jaman nulis skripsi? Ada satu saja kata atau istilah yang janggal, akan diberi coretan tinta merah oleh dosen pembimbing. Inget jaman masih di lembaga pers mahasiswa? Artikel yang ditulis dengan paragraf yang nggak nyambung satu sama lain bakal diminta revisi sampai jam dua pagi. Industri tidak bisa ‘seselo’ itu. Piye? Enak jamanku to? :p

Akan tetapi, miris juga melihat beberapa rekan kerja yang sekilas hanya mementingkan konsep sampul buku ketimbang mencermati isi. Pergi jalan-jalannya ke toko buku, terus mampir ke stationery shop cuma buat membeli beberapa buku notes yang konsep desain sampulnya bisa ditiru. Oh, come on, kalau cuma inspirasi desain, internet selalu bisa menawarkan berjuta-juta jumlahnya. Bagiku, yang terpenting, sudahkah kamu mendapatkan gagasan baru hari ini? Sudahkah kamu bertemu dan berbincang dengan orang baru, satu orang saja, sehingga kamu bisa mendapatkan angle yang unik dan berbeda untuk sesuatu yang sedang kamu tulis? Sudahkah kamu, sebagai orang penerbitan, cukup berbesar hati untuk mengukur kadar kompetensi untuk mengotak-atik konten? Karena yang dibeli pembaca adalah gagasan, bukan sampul yang bagus saja.

Semoga tulisan ini mampu merangkum pertanyaan-pertanyaan yang mungkin berkeliaran di benak pembaca dan sangat cocok ditujukan untuk diri sendiri juga. *)




*) Ditulis dalam titik jenuh sewaktu masih berprofesi sebagai editor. Foto tanpa photo credit merupakan dokumentasi pribadi.



**Pernah di-post di asya-azalea.tumblr.com pada April 1st, 2015 5:03pm, 2013 5:46am dan dipindahkan ke blog ini.

0 Komentar