[Book Review] Ketika Rasa Berteman dengan Frasa


Entah mengapa, rasa selalu susah diubah menjadi frasa. Susah dideskripsikan. Dengan mudah, kita dapat mendeskripsikan bagaimana itu meja, apa saja bagian-bagiannya,  dan apa warnanya, tapi kita selalu kesulitan menjelaskan apa itu manis dan apa bedanya dengan pahit. Untuk menjelaskan esensi manis, kita pasti akan menunjuk sesuatu yang mewakili. KBBI sendiri bahkan menunjuk objek lain, yakni gula, sebagai acuan apa itu manis.
Tragis. Rasa selalu gagal menjelaskan dirinya sendiri.
Well, untuk itu, usaha Bentang Pustaka mengusung Love Flavour Series ini patut diacungi jempol. Dengan bantuan tema klise tapi tetap menjadi favorit sepanjang masa (baca: cinta), penerbit mayor ini membawa sederetan jenis rasa yang biasanya hanya kita akrabi lewat lidah ke dalam sebuah buku beratus halaman.
Ada 2 buku yang akan dikupas habis dalam tulisan ini, yaitu The Coffee Memory karya Riawani Elyta dan The Strawberry Surprise karya Desi Puspitasari. Alasan pemilihan novel tersebut sederhana saja: dua-duanya telah tamat dibaca, dua-duanya adalah rasa favorit.






The Coffee Memory: Secangkir Kopi yang (Harusnya) Menceritakan Segalanya

Pada bagian awal, tone yang terbangun dalam novel ini cukup mengharu biru. Pada bab-bab awal diceritakan bagaimana Dania bisa mengingat setiap detail percakapan, kebiasaan, bahkan semangat dan passion seorang Andro, suaminya yang baru saja dipanggil Tuhan. Kalau mengingat itu semua, ingin sekali Dania membenci aroma kopi atau menutup saja kafe yang telah mereka bangun berdua bernama Kafe Katjoe Manis itu.
Konflik mulai meningkat saat ada dua orang karyawan Dania yang hengkang karena merasa Kafe Katjoe Manis berpotensi gulung tikar. Masalah bertambah rumit dengan munculnya kafe baru bernama Bookafeholic. Dania sudah berusaha mencari solusi dengan mencari barista baru. Ia menggandeng Barry untuk bergabung meneruskan usaha yang mati-matian dirintis almarhum suami Dania. Tapi, ternyata kehadiran Barry tidak cukup membantu. Kafe Katjoe Manis malah kebakaran!
Sebenarnya, The Coffee Memory sudah ditulis dengan diksi yang rapi. Sayangnya, alurnya terlalu flat. Dania ditinggal mati suaminya, kemudian melanjutkan bisnis suaminya kembali dibantu oleh Barry, kebakaran, selesai. I’m sorry to say. Ini adalah novel yang kering riset. Mengapa Riawani Elyta tidak blak-blakan saja berbicara mengenai angka dan data omset sebuah kafe? Atau, intrik, kecurangan, atau akal-akalan yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan pebisnis, seharusnya bisa menjadi celah bagi Riawani Elyta untuk mengeksplorasi bagaimana sepak terjang bisnis kafe di Indonesia yang sebagainya.
Banyak bagian yang rumpang dalam setiap konflik di dalamnya. Misalnya saja, siapa dalang kebakaran? FYI, beberapa pengusaha sengaja membakar tokonya sendiri agar asuransi tokonya cair dan dapat digunakan untuk menambah modal. Riawani Elyta bisa menggali hal-hal semacam itu harusnya. Lalu, bagaimana sengketa dengan Pram? Tidak ada penyelesaian sama sekali, padahal harapan saya selaku pembaca, sengketa bisa diselesaikan dengan cinta.
Rasa-rasanya The Coffee Memory adalah novel yang belum selesai ditulis.



Beberapa Surprise dalam The Strawberry Surprise

Cover novel The Strawberry Surprise adalah yang paling segar dibandingkan sekian banyak novel seri Love Flavour lainnya yang diluncurkan Bentang Pustaka. Dengan hanya melihat gambarnya saja, setitik air liur bisa terbit di tepian mulut calon pembaca, seolah bisa membayangkan rasa asamnya.
Bermula dari sebuah paket berisi buku karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Kisah Mata, Aggi jadi harus bertemu dengan sosok bernama Timur, seorang lelaki yang pernah mengisi hidupnya. Keduanya sempat menjalin hubungan hingga akhirnya memilih untuk berpisah dengan sebuah perjanjian tidak tertulis berbunyi, “Setelah lima tahun, kalau kamu tidak punya pacar, kalau aku tidak punya pacar, kita coba lagi untuk bertemu.”
Ternyata, Tuhan masih menghendaki mereka bertemu. Mereka pun berencana setiap pekan akan bertemu. Aggi akan menceritakan siapa-siapa saja yang pernah mampir ke dalam hidupnya dalam lima tahun terakhir kepada Timur.
Cerita The Srawberry Surprise ini tergolong unik. Alur maju-mundurnya sama sekali tidak mengganggu. Seluruh kejadian di masa lalu dan masa kini saling tarik ulur dengan cantik. Beberapa lelaki yang mampir dalam hidup Aggi juga diceritakan dengan karakter yang khas yang menyokong karakter Aggi sendiri. Jujur, saya sendiri paling suka dengan si bule Thoma.
Dialog-dialog yang muncul seperti dipikirkan baik-baik sehingga ketika membaca The Strawberry Surprise, pasti akan menemukan banyak sekali kalimat dan quote favorit. Lumayan, untuk dijadikan status Facebook atau Twitter.
Hanya satu yang mengganjal: gaya bahasa. Saya belum pernah membaca karya Desi Puspitasari sebelumnya sehingga tidak benar-benar tahu apakah memang begini gaya penuturan seorang Desi Puspitasari. Bisa jadi juga narasi dalam novel ini disunting habis-habisan oleh editornya sehingga setiap paragraf di dalamnya terkesan formal dan kaku. Hal semacam ini mungkin terlihat sepele, tapi bisa berakibat fatal. Suasana lucu yang seharusnya terbangun bisa jadi ‘garing’ hanya karena tidak pandai menempatkan bahasa.
Overall, novel The Strawberry Surprise ini layak baca dan, selamat menikmati beberapa suprise pada bagian ending-nya.



Bukan Soal Apa-Apa

Baik-buruk, bagus-jelek, adalah bukan soal apa-apa, bukan persoalan penting dalam berkarya. Itu hanyalah penilaian yang cenderung subjektif. Namun, kedua novel Bentang Pustaka tadi sudah menegaskan satu hal: bukan hal yang mudah mem-frasa-kan aneka macam rasa. Sama sulitnya dengan menjelaskan apa itu manis kepada anak berumur 3 tahun.
Dan Bentang Pustaka setidaknya sudah mencoba memberi pembuktian bahwa rasa sedang mencoba berteman dengan frasa serta memberikan acuan tentang rasa melalui seri Love Flavour ini.





0 Komentar