Mengapa Naskah Saya Ditolak dan Dianggap Tak Layak Terbit? (Bagian Kedua)




Mengapa Naskah Saya Ditolak dan Dianggap Tak Layak Terbit? (Bagian Kedua)--Hai, calon penulis kesayangan. Apa kabar? Ada kabar penolakan dari mana hari ini? Sudah patah hati dan kapok nulis? Jangan dulu ya. Kalau salah seorang editor di Cabaca pernah bilang, "Hujan masih air dan dia masih milik yang lain. Dunia tidak berakhir meskipun naskahmu belum diterbitin." Kalau yang udah pernah melipir dan baca Catatan Hati Seorang Editor, pasti tahu deh kalimat itu, hehehe.

Pada postingan sebelumnya, saya sudah menjelaskan kalau ada banyak sekali faktor di balik penolakan sebuah naskah. Saya membaginya menjadi faktor internal, eksternal, dan keberuntungan, hehehe. Kalau sebelumnya saya menyebutkan beberapa alasan mengapa sebuah naskah ditolak dan dianggap tak layak terbit dari faktor internalnya--dari sesuatu yang dapat dideteksi dan dikendalikan oleh si penulis sendiri, maka kali ini tulisan saya akan membahas beberapa faktor eksternalnya. Faktor eksternal yang saya maksud adalah berupa hal-hal yang di luar naskah si penulis, biasanya akan bersinggungan dengan faktor bisnis (yang tentunya berasal dari penerbit yang kita tuju).


Baca Dulu: Mengapa Naskah Saya Ditolak dan Dianggap Tak Layak Terbit?



Selamat Datang di Industri Penerbitan!



Sebelum mengirimkan naskahmu ke banyak penerbit, ada satu hal mendasar yang harus dipahami seorang penulis, bahwa kamu tidak hanya menawarkan sebuah naskah, tetapi juga/sekaligus menawarkan sebuah 'proposal bisnis'. Kamu sedang mengajak pihak lain untuk berinvestasi, menanamkan modal, pada naskahmu. Kamu dan pihak lain itu akan bersama-sama mengolah naskahmu dan menjadikannya sebuah produk yang bernilai jual. Tentu saja, kalau ngomongin industri, kalau kamu sudah sampai berniat memonetisasi karya, maka arahannya bakal ke profit. Bisnis mana yang butuh modal tapi gak butuh profit? Perlu digarisbawahi juga, jangan jadikan profit (dan juga barangkali pasar) sebagai sesuatu yang tabu, sesuatu yang kita pandang 'apa sih'. Profit dan hal-hal yang berkaitan dengannya adalah wajar, sewajar kamu yang jadi rindu kalau jauh-jauhan dengan dia.

Maka dari itu, ketika kamu mengirimkan naskahmu ke penerbit, mulailah posisikan pandanganmu bahwa kamu adalah seseorang yang sedang mencari investor. Mirip-mirip anak digital startup yang lagi mau pitch deck gitulah yang nyiapin data, business plan, sampai hal remeh-temeh kek Powerpoint. Gak heran, kalau ada penerbit yang bahkan mensyaratkan penulisnya untuk membuat proposal naskah, selain mengirimkan naskah utamanya.


Maka dari itu, ketika kamu mengirimkan naskahmu ke penerbit, mulailah posisikan pandanganmu bahwa kamu adalah seseorang yang sedang mencari investor.

Oke, sampai sini masuk akal gak penjelasan saya? Mind set-nya udah samaan belom?

Nah, celakanya, industri (dalam hal ini penerbit mayor) yang mau kamu masuki gak sesimpel yang kamu kira. Gak cuma proses penerimaan naskahnya sampai produksi/cetaknya aja yang panjang. Bahkan 'alur jualan'-nya aja panjang banget. Begitu selesai buku dicetak, ada proses yang namanya distribusi. Setelah itu, masuk toko buku. Kalau gak laku, ada proses retur, proses stok opname, terus mikir lagi gimana jual yang gak laku itu. Gitu aja terus sampai Upin Ipin rambutnya jadi gondrong.

Masing-masing proses jelas memakan biaya dan potongan/konsinyasi yang kagak sedikit. Udah gitu, prosesnya yang panjang dan melalui banyak pihak ini jelas bakal ngaruh ke laporan dan pencairan profitnya (sabar-sabarin ya, enam bulan sekali lho!). Intinya, gak bakal secepet orang jualan gorengan dah!

Itu baru ngomongin dari flow-nya aja ya, belum sampai ke penentuan harga. Oya, saya pernah nemu tulisannya Eka Kurniawan tentang harga buku di Indonesia. Silakan baca di sini supaya ada sedikit gambaran.


Kenapa saya kasih gambaran begini? Soalnya kalau ngomongin faktor eksternal yang kaitannya lebih ke bisnis dan profit, kita harus paham dulu gambaran besar industrinya. Selain itu, dalam pandangan saya, hubungan penulis dan penerbit tidak bisa ditempatkan sebagai sesuatu yang berseberangan atau kontra. Penulis dan penerbit tak ubahnya mitra kerja. Apa yang harus dimiliki oleh seseorang yang akan bermitra? Yap betul, kesamaan visi.

Sudah ya. Sekarang kita lanjut ngomongin soal mengapa naskah saya ditolak dan dianggap tak layak terbit, dilihat dari sisi bisnisnya.


Faktor Eksternal


Ketika naskahmu ditolak, sebaiknya jangan langsung beranggapan bahwa naskahmu jelek. Bisa jadi tidak demikian. Sekali lagi, ini bisnis. Ada banyak pertimbangan yang dibutuhkan di sana. Beberapa hal ini mungkin tidak dapat kamu ubah atau kendalikan seperti pada faktor internal. Tetapi kamu bisa menjadikan ini sebagai satu wawasan baru kalau kamu ingin jadi penulis yang tidak cuma menulis satu buku (dan bukunya mejeng di toko buku gede), tetapi juga jadi penulis yang bertahan lama dalam lingkup industri. Semoga paham ya maksud saya kalau tulisan ini bukanlah pembenaran atau pembelaan terhadap pihak mana pun. Berdasarkan pertimbangan bisnisnya, naskahmu ditolak karena beberapa hal ini (juga).

1. Selling Point Lemah


Ngapain sih penulis harus mikirin selling point segala? Bukannya itu bagian penerbit ya? Kenapa kami harus repot-repot mencantumkannya dalam proposal naskah segala?

Begitulah biasanya bunyi protes dari warganet budiman, hehehe.

Sudah tahu apa itu selling point? Sederhananya, selling point adalah value. Nilai jual. Lebih spesifiknya, selling point ini merujuk pada hal-hal berupa features, benefit, dan keunikan dari produkmu (dalam hal ini naskah) yang tidak ditemukan pada kompetitor. 

Yang kayak apa sih selling point?

Yang jelas sih bukan sesuatu yang terlalu umum, seperti: "Naskah saya ini unik karena mengangkat topik kontroversial yang mengandung isu-isu bla-bla-bla-bla" atau malah "Naskah saya ini ide satu-satunya, original, gak pernah ditemuin di mana pun". Bukan yang kayak gini yang dimaksud. Kalau hal kayak gini mah cukup dilihat dari premis dan kontennya aja.

Yang dimaksudkan adalah paket lengkap apa saja yang dapat kamu dan penerbit tawarkan kepada konsumen (dalam hal ini pembaca). Saya contohkan, misal kamu mau nawarin naskah buku anak, lengkap dengan tema yang menarik dan ilustrasi yang atraktif. Tetapi kamu punya selling point lain: pembaca yang beli buku anak karyamu bakal dapat tautan khusus di dalam bukunya supaya pembaca bisa download stiker karakternya--yang biasa untuk layanan chat--gratis. Contoh lain, kamu punya naskah novel. Jelaskan tidak hanya kontennya saja yang unik. Bisa juga jelaskan naskahmu itu telah 'dimasak' bertahun-tahun dan sudah ditunggu oleh sekian komunitas atau sekian pembaca (sebutkan angkanya).

Kenapa perlu mikirin selling point? Soalnya, hei, kamu ini lagi nawarin naskahmu ke pihak yang akan mengeluarkan uangnya, modal yang dimilikinya, untuk mempublikasikan karyamu. Jumlahnya gak main-main. Kalau oplahmu satu judul 3000 eksemplar aja, dengan jumlah halaman gak lebih dari 250 halaman, kasarannya penerbit harus mengeluarkan uang sejumlah Rp30 juta buat cetak. Belum biaya distribusi, biaya konsinyasi, biaya retur (kalau nantinya ada), dst. Dengan menyebutkan selling point naskahmu, kamu sudah turut meyakinkan penerbit bahwa modal yang dimilikinya layak digunakan untuk mempublikasikan karyamu.


2. Branding Penulis Dianggap Kurang Sesuai


Kamu berharap bisa menembus penerbit mayor, hanya dengan menulis novel yang kamu pikir sempurna atau udah tembus, tinggal leyeh-leyeh dan novelmu best sellerTentu tidak semudah itu, Fergusso. Dibutuhkan serangkaian usaha untuk menggenapinya. Salah satunya adalah dengan membangun personal branding. Hal ini gak cuma berlaku buat penulis, apa pun profesinya, apa pun kegiatan yang dilakoninya, branding akan dibutuhkan. Dengan branding ini, pembaca akan lebih mudah mengingatmu. Kalau kamu ingin dikenal sebagai penulis buku motivasi, lakukan hal-hal yang membuat motivasimu selalu diingat. Kalau ingin dikenal sebagai penyair, ya, lakukan juga hal yang sama. Tujuan lain dari branding adalah untuk menjalin komunikasi dengan (calon) pembaca dan menjaga engagement. Dengan begitu, apa pun yang kamu tulis, akan selalu dinantikan pembaca. 

Oh, jadi penerbit selalu cari penulis yang branding-nya bagus ya? Jawabnya, iyalah! Minimal namamu dan karyamu bisa di-googling. Minimal penerbit tahu sampai mana usahamu untuk membentuk nama dan reputasimu. Kalau kamu sendiri tidak pernah peduli dengan dirimu, lantas siapa yang akan peduli?

Oh, jadi ini alasan penerbit selalu mengincar penulis Wattpad dengan embel-embel telah dibaca jutaan kali itu ya? Hm... sejujurnya, ini pertanyaan yang cukup menarik. Mungkin kapan-kapan saya perlu bahas secara terpisah kenapa penerbit mayor melirik penulis Wattpad. Tapi ada beberapa hal yang perlu ditelaah kembali oleh setiap calon penulis. Memangnya mudah membuat orang-orang menemukan karyamu di belantara digital dengan jutaan konten? Memangnya mudah menulis secara teratur di platform menulis online? Memangnya mudah terus-menerus mengapresiasi karya, saling tulis dan berbalas komentar di platform itu? Jawabannya, tidak. Butuh kesungguhan untuk melakukan itu semua. Dan penerbit melihat kesungguhan itu. Laku tidaknya urusan belakangan. Sekali lagi, bisnis penerbitan itu lebih banyak gambling-nya ketimbang lakunya. XD


Minimal namamu dan karyamu bisa di-googling. Minimal penerbit tahu sampai mana usahamu untuk membentuk nama dan reputasimu. Kalau kamu sendiri tidak pernah peduli dengan dirimu, lantas siapa yang akan peduli?

Saya rasa, urusan personal branding ini juga diperlukan saat kamu akan melakukan self publishing alias nerbitin sendiri. Bagaimana bisa seorang penulis membuat orang lain membeli karyanya tanpa terlebih dahulu 'memperkenalkan diri' lewat branding? Ha sopo kowe? Gak peduli kamu dulunya artis, pengacara, atau dukun beranak, kalau kamu mau melahirkan karya, ya woro-worolah lebih dahulu. Kasihlah ancang-ancang di media sosialmu yang isinya foto wajah semua itu. Gaul dululah dengan komunitas baca atau menulis. Ora waton makjegagig. Apalagi kalau nulis sendiri dan menjualnya sendiri.

Nih, ya, beberapa waktu lalu saya membaca buku berjudul Story Genius: How to Use Brain Science to Go Beyond Outlining karya Lisa Cron. Saya cukup terperanjat menemukan fakta ini:


In 2012, the New York Times reported that most self-published books sell fewer than 150 copies...

Dalam buku itu juga disebutkan, kebanyakan penulis self-publish hanya berhasil menjual karyanya kepada keluarga dan teman yang menaruh simpati pada karyanya. Bukan kepada pembaca yang sesungguhnya.

Dari situ artinya kita perlu evaluasi lagi. Sudah bereskah karyamu? Atau jangan-jangan, adakah yang perlu dibenahi dari branding-mu? Kecuali kalau kamu self-publish hanya untuk kesenangan ya, hanya buat dibiarkan baca gratis, bukan dalam rangka bisnis atau profesi jangka panjang, silakan deh mau bodo amat.


minimal buat namamu bisa masuk laman pencarian Google


3. Kuota Penerbitan


Seperti yang sudah saya sebutkan di muka, industri penerbitan bisa dibilang cukup kompleks. Butuh mengatur alur, butuh strategi untuk dapat bertahan dan tidak gulung tikar. Ada masanya dapat menerbitkan/mencetak puluhan judul dalam sebulan, ada masanya harus di-rem dan meminimalisasi biaya produksi--apalagi dengan flow pemasukan yang cenderung lambat. Salah satu cara meminimalisasi biaya produksi adalah dengan mengurangi jumlah naskah yang diterima/diterbitkan.

Saya ingat betul, pada tahun 2012, saat fiksi populer berjaya dan semua penerbit berlomba-lomba mengisi rak toko buku dengan novel, kami satu tim dapat mengedit delapan judul novel dalam sebulan. Itu bidang fiksi saja lho, belum termasuk yang lain. Semakin besar kuota 'jatah terbit', semakin besar pula kesempatan naskahmu diterbitkan. Hal tersebut berlaku sebaliknya.





Tetapi, oh, tetapi, biasanya walau kuota besar, yang masukin juga banyak sih. Terutama novel. Heran, kenapa begitu banyak orang ingin jadi penulis novel ya XD

Baca Juga: Mereka Ini Juga Ada di Balik Buku yang Kamu Baca


Faktor Keberuntungan

Walaupun Johnny B. Truant dan Sean Platt pernah bilang dalam bukunya Write. Publish. Repeat. (The No-Luck-Required Guide to Self-Publishing Success bahwa keberuntungan--dalam menerbitkan buku--bisa diusahakan, saya tetap percaya sama yang namanya hoki XD

Bayangin dong, siapa yang 'paling sanggup' menjaga suatu penerbit tidak gulung tikar? Siapa yang bisa menggerakkan hati mbak-mas editor di penerbit supaya bisa tertawa atau nangis terharu pas baca naskah masuk padahal mood lagi jelek karena gajian masih lama dan beli cilok aja ngutang kalau bukan Si Pemberi Keberuntungan? Siapa yang bisa mengatur momen bahwa genre yang kamu tulis sedang diprioritaskan padahal kamu gak sengaja ngirimnya, kalau bukan Si Pemberi Rezeki?

Ini ya rahasianya, adik-adik, percaya dengan keberuntungan kadang-kadang membuat hatimu lebih lapang saat menerima penolakan. Anggaplah sebagai latihan kalau-kalau nanti ditolak sama calon pendamping di masa depan :")

1 Komentar